CINTA SEGI TIGA SEMBARANG
Suasana
di sebuah Pusat Kesehatan (PKM) tidak begitu ramai. Jumlah pasien yang dirawat hari
itu sedikit dan hanya beberapa orang penjenguk saja yang tampak menemani para
pasien. Keadaan tidak begitu ricuh seperti saat-saat ramai pengunjung. Di salah
satu koridor, tampak seorang gadis sesekali menengok kearahku. Gelagatnya yang
begitu kentara membuatku merasa di atas angin. Aku tersenyum, dan ku biarkan
saja gadis itu mencuri perhatianku. Di suatu saat aku balek menatapnya sambil
tersenyum ramah, gadis itu tersipu namun akhirnya tersenyum juga. Itu gadis
yang tadi membantuku memapah salah satu keluargaku saat baru tiba disini. Setelah
terasa cukup beracting, aku menghampirinya dan dia menyambut kehadiranku dengan
tingkah yang serba salah. Melihat tingkahnya, aku yakin langkah awal berhasil,
karna itu dengan sedikit santai aku mulai menyapa, ‘’Siapa yang sakit dek?’’tanyaku
ramah. Gadis itu tersenyum sambil merapikan rambutnya yang sudah rapi ‘’kakak’’
jawabnya singkat. Gadis itu tampak sedikit gugup. Dalam hatiku aku tersenyum ‘’hehe, ternyata actingku berhasil juga,”
Itulah salah satu trik yang sering aku gunakan dikala mengincar seorang gadis.
Tanpa mereka sadari aku juga mencuri perhatiannya dengan berbagai acting hingga
bisa menjadi fokus perhatian. Dengan demikian, ketika aku menghampirinya
setidaknya ada rasa ketertarikannya padaku. Begitu juga dengan gadis yang saat
ini menjadi targetku. Setelah langkah pertama berhasil membuatnya merasa
sedikit terkesan, langkah selanjutnya dengan mengakrabkan diri. Dengan memperhitungkan situasi yang tepat, tiba
saatnya langkah kedua untuk membuatnya lebih tertarik lagi, ‘’Oya terima kasi
buat yang tadi...!’’ kataku menyambung percakapan. Gadis itu menyungutkan
bibirnya, ‘’ Nggak apa, biasa aja...!’’ jawabnya sambil meremas-remas kedua
tangannya. Tingkah lakunya membuatku semakin senang. Namun demikian aku tetap
menjaga penampilan agar tetap eksis, dengan tetap tenang seakan tidak memperhatikan
setiap perubahan sikapnya. ‘’Udah lama disini?’’ lanjutku. ‘’Emm...dari
kemaren! oleh pak dokter katanya kak Reni belum bisa dibawa pulang... kalo
kakak...bagimana?’’ jelasnya dan balik bertanya. Aku meresponnya dengan relak “Ooh...itu
tadi Ibu...kata dokter demamnya tinggi mesti dirawat inap!” jelasku. Gadis itu
mengangguk perlahan, bibir manisnya sedikit mencibir. Sesaat kuperhatikan,
ternyata aku tidak salah, gadis itu memang manis. Dengan agak ragu dia bertanya
lagi ‘’berarti natar malem kakak nginap disini?’’. Gadis itu mengernynitkan
alisnya. Aku menatapnya dan menawarkan senyum yang sedikit berarti, “tergantung...”
jawabku singkat. Gadis itu mengerti aku memancing responnya, dia tersenyum
simpul. “maksud kakak...?” tanyanya lagi. “Yea....kalo kamu disini mungkin
saja...” godaku dengan nada sedikit menggantung jawaban. Tampaknya gadis itu
respek juga, dia tersipu, mukanya sedikit memerah, dia tampak semakin gugup,
sesekali rambut ikalnya dirapiin lagi, aku tersenyum juga. ‘’Emang kenapa
dengan aku...?’’ katanya dengan sedikit malu. ‘’Yea....kalau kamu disini...sudah
pasti aku disini juga buat jagain kamu, sayang juga gadis semanis kamu ntar ada
yang godain...biar ntar aku temani dan jagain kamu... bagaimana?’’ tawarku.
Gadis itu menunduk, terdiam sejenak, namun beberapa saat dia menganggukan
kepala secara perlahan. “yeah inilah
kesempatan baik’’ kataku dalam hati. Setelah berhasil mencuri simpatik
gadis itu, “saatnya mengeluarkan
jurus-jurus rayuan penakluk” pikirku dalam hati. Dengan sedikit menguasai
situasi aku melanjutkan percakapan dengan berbagai basa basi dan rayuan gombal untuk
membuat gadis itu semakin terpedaya. Dalam waktu singkat saja aku berhasil
membuat keadaan semakin menguntungkan. Sedikit demi sedikit gadis itu mulai
merasa nyaman dan lebih respek lagi. Tampak sekali keceriaan di wajah cantiknya.
Gadis itu benar-benar terpikat dengan kata-kata manis dan rayuan. Perbincangan
pun berlanjut sampai aku dan gadis itu benar-benar akrab. Gadis itu merasa
semakin simpatik lagi ketika aku sesekali menyempatkan diri menengok kakaknya
di salah satu ruang opname. Begitu sebaliknya, gadis itu tidak merasa sungkan
menengok Ibu di ruang lainnya. Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat, malam
kian larut, namun dalam waktu yang sesingkat itu telah membuat ukiran asmara di
hati seorang gadis. Begitulah, malam itu ku habiskan untuk menemani seorang
gadis bodoh yang butuh perhatian khusus, tanpa terasa sebuah ciuman mesra menjadi
bukti dari sebuah pertemuan di Rumah Kesehatan.
Keesokan
harinya, Ibu mendapat rujukan ke Rumah Sakit Umum karna ada gejala lain terkait
demamnya. Bersama beberapa anggota keluarga yang lain aku berkemas-kemas
setelah mengurus surat rujukan. Tak jauh dari tempatku tampak seorang gadis
menatapku. Gadis itu baru selesai mencuci muka setelah bangun kesiangan. Aku menghampirinya
yang tak pernah lepas memandangiku. “Kakak sudah mau pulang?” tanya gadis itu
dengan nada sedih. “Iya...Ibu di rujuk ke Rumah Sakit Umum, tapi jangan
kuatir...aku pasti temui kamu lagi...” aku menjelaskan dengan sedikit perhatian.
Dia menatapku tajam, seakan ingin mengatakan sesuatu. Tampak kekecewaan di
wajahnya. “kak...” suara lirih keluar dari bibir manisnya yang sedikir bergetar.
Aku membalas tatapannya. Dari tatapannya tampak sekali gadis itu masih ingin bersama, masih ingin
menikmati indahnya saat-saat seperti malam tadi. “kenapa sayang...kamu jangan
kuatir aku tak kan pergi jauh...nanti juga aku pasti menemuimu!” kataku
memberikannya sedikit harapan. Gadis itu melanjutkan lagi “tapi aku belum tau
nama kakak...” katanya dengan dengan ragu. Kata-kata itu sempat membuatku terdiam
dan sadar, betapa tidak setelah semalaman suntuk aku menemani dan mengencaninya
dengan mesra namun aku belum sempat sekedar memperkenalkan diri dan menanyakan
namanya. Itulah sifat burukku yang cepat sekali akrab dengan siapa saja tanpa
memperkenalkan diri terlebih dahulu. Semua yang ku jalani sesuai situasi dan
keadaan saat itu. Mengingat hal itu dengan lebih perhatian lagi aku mendekati
dan merapatkan tangan dipundaknya, ”hemm...maaf sayang, aku hampir lupa...aku
memang bodoh... bisa-bisanya aku tidak tau nama gadis yang ku sayang... panggil
saja aku Aden...bagimana dengan adek?” kataku dengan nada sedikit bersalah. Rupa-rupanya
sentuhan halus tanganku di pundaknya membuatnya sedikit meresa tenang. Keraguan
yang sempat membingungkannya sedikit berkurang. “namaku Nela kak... kakak tidak
bohong kan...kakak bner akan menemuiku lagi...janji ya kak?” katanya dengan
penuh harap. Aku mengangguk mengiyakannya, “jangan kuatir...aku janji!”. Kataku
meyakinkannya walaupun sebenarnya aku sendiri tidak begitu yakin akan
kesetiaanku. Dengan pandangan sayu gadis itu mengantarkan kepergianku, hanya
sebuah senyuman yang aku berikan untuk mengakhiri kebersamaan hari itu.
Dua pekan sudah semenjak pertemuanku dengan seorang gadis
di sebuah Rumah Kesehatan. Aku merenung mengingat-ingat kejadian beberapa waktu
lalu. Semalaman aku menemani seorang gadis dengan mesra dan memberikan sebuah
harapan untuknya, tapi keesokan harinya aku
meninggalkannya tanpa memberi kabar lagi. Satu minggu Ibu dirawat di Rumah Sakit
Umum membuatku fokus membantu segala kebutuhan selama perawatan. Hari-hariku
kian sibuk hingga hampir melupakan seseorang yang telah menunggu kehadiranku. Aku
tersenyum, terbayang lagi tingkah laku gadis itu, gerak-geriknya, tatapannya, senyumnya, bibir
manisnya, semua itu membuat pikiranku semakin terasa aneh. Walaupun aku pernah
sayang pada setiap gadis, namun kali ini terasa sedikit berbeda. Gadis yang
satu ini begitu unik. Mengenang kejadian singkat itu membuatku tersenyum
sendiri. Aku menggeleng, seakan tidak begitu yakin perasaanku saat ini, “tak mungkin aku mencintainya...apalagi dalam
kencan pertama, harusnya dia yang memikirkanku” gumamku lirih. Semakin aku menepis
bayangan itu, malah semakin membuatku memikirkannya. “apa ini saatnya aku mengakui kelemahanku...”, pikirku dalam hati. Bayangan
gadis itu kian menghantuiku. Aku menjadi resah, aku termakan dengan kata-kata
dan sikapku selama ini. “Apa aku harus mengakui perasaanku saat ini?” aku
bertanya pada diriku sendiri. Gadis itu memang sialan, dia telah membuatku menghabiskan
waktu untuk merenung. Hati kecilku berkata, “baiklah, aku harus memilikinya”. Namun
sesaat aku merasa bingung. Biasanya masalah nama dan alamat gadis urusan
belakang, yang penting kencannya. Tapi kali ini aku salah, aku membutuhkannya
saat ini, tapi bagaimana aku menemuinya, “huh....kemaren
lupa tanya nama...sekarang bagaimana dengan alamatnya? dimana aku bisa
menemuinya? bego!” aku mengatai
diriku sendiri. Aku bertambah bingung lagi karan harus repot mencari tahu
dimana alamat gadsiku. Kali ini aku merasa bodoh. Aku tambah gelisah dan
menyadari keteledoranku. Awalnya aku berfikir gadis itu sama saja dengan gadis
lain yang hanya akan aku mamfaatin. Tapi entahlah, kali ini memang terasa beda.
Lebih dari itu, ada perasaan yang kuat mengganggu pikiranku. Gadis itu seakan
meamiliki daya tarik tersendiri yang membuatku semakin ingin menjumpainya. Sifat
dan perasaanku bertabrakan, keadaan mungkin sudah berbalik sekian derajat, tapi
aku harus mengakui juga, saat ini aku benar-benar merasa telah jatuh hati.
Pada
suatu sore Andi salah seorang temanku datang kerumah. Tujuan utamanya tidak
lain hanya untuk berbicara tentang cewek-cewek. Seperti biasanya dia selalu
membuka percakapan dengan kabar buruknya. Raut mukanya yang masam ditambah lagi
dengan gerak-gerik bibirnya yang menguntaikan keluhan-keluhan membuatnya tampak
konyol. Hal itu yang membuatku selalu menertawainya. Apalagi selama ini dia
terkenal dengan gelar jomblo seumur-umur.
Karna memang, setiap gadis yang diincarnya selalu menjauhinya. Tiap kali aku
menyindir dan mengatainya bodoh, bego, tolol, ceroboh, tapi untungnya Andi
tidak begitu peduli dengan
sindiran-sindiran seperti itu, karna yang dia butuhkan hanya langkah-langkah
dan trik yang jitu untuk menaklukkan hati gadis incarannya, walaupun akhirnya
akan gagal juga. “hah...sial lagi bro...!
cewenya payah...!’’ katanya dengan menepis jidatnya. Aku hanya menggeleng
menahan tawa. “Emangnya kenapa lagi...bukannya kemaren sudah ketemuan sama si
Weni?’’ balasku. Andi menghela nafas, “iya itu masalahnya... aku janjian ma si
Weni ketemuan di depan Columbia...’’, katanya sambil mengusap wajahnya.
Walaupun sudah menebak kegagalannya, namun aku penasaran juga jalan ceritanya.
“iya emangnya kenapa...apa ada kendala?’’ Tanyaku penasararan. Dengan kesal Andi
melanjutkan ceritanya ‘’aku kan sudah
menunggu dua jam lebih di depan Columbia...tidak lama ada cewek parkir di
seberang jalan tak jauh dari tempatku. Aku yakin itu si Weni. Saat ku coba
menelpon nomor yang kamu berikan itu, ku
lihat gadis di seberang itu mengangkat Handphonnya, aku bilang padanya kalo aku
sudah menunggu di depan Columbia. Tak lama gadis itu menghampiriku...awalnya aku
pura-pura tidak memperhatikan kehadirannya karna aku yakin dia akan menegurku.
Tapi setiba di depanku dia tidak berhenti...eeehh malah dia jalan terus sampai
ke ujung sana. Sialan...Aku sadar...aku orang jelak....’’. katanya mengeluhkan
keadaannya. Mendengar ceritanya perutku sakit menahan tawa. “Siapa juga yang
bilang kamu cakep...makanya selera jangan terlalu tinggi, cari aja cewek yang
sederhana pasti banyak kok!” kataku menimpali. Mendengar sindiranku Andi tampak
semakin kesal, namun beberapa saat wajahnya bersinar lagi, “tunggu dulu
bro...aku ada satu lagi target...!” Andi terkekeh. Aku tersenyum lagi, “Yea...baguslah...asalkan
gadisnya standar pasti bisa...!” kataku memberi masukan. Andi mulai memaparkan,
“Itu masalahnya bro...gadisnya cantik juga sih, dia gadis yang paling lama aku
incar.” Dengan penuh gairah Andi melanjutkan penjelasannya “enam bulan sudah
gadis itu menjadi idamanku, pertama aku menyapanya dia menghindar dan
meninggalkanku begitu saja...satu saat aku berjumpa lagi, aku menawarkan jadi
pacarnya tapi dia bilang “Aku belum siap
pacaran. Ntar kalo aku dah gede baru aku bisa jawab permintaanmu!”. Setelah
menunggu sekian lama akhirnya aku ketemu lagi dengannya Aku pikir ini
kesempatan baik. Tanpa pikir lagi aku meminta janjinya, tapi dia bilang “Aku emang udah gede, tapi aku belum siap
pacaran...ntar kalo aku dah siap, baru aku bisa ngejawab permintaanmu!” Huh
setiap kali ada kesempatan selalu saja ada alasannya. Aku jadi kesel. Sudah
tujuh kali aku mencoba menawarkan diri jadi pacarnya tapi jawabannya selalu diputer-puter.
Gadis itu bner-bner menjengkelkan!” Andi mengeluhkan keadaan yang dialami. Aku
yang sejak tadi hanya mendengarkan sambil menahan tawa hanya bisa memberi saran,
“Udahlah itu artinya gadisnya tidak suka, cari aja yang laen...aku pasti
bantu!” tawarku. Andi menarik nafas panjang, “kalo mau membantu, tolong bantu
aku deket dengan gadis yang aku ceritakan tadi...aku tau kamu pasti bisa!” Andi
memintaku dengan penuh harap. Aku mencoba menawarkan lagi, “Apa tidak bisa aku
carikan yang laen saja...itu si Imah lagi butuh cowo, aku rasa kalian cocok,
hehe” kataku sedikit bercanda. Andi tampak manyun, “kamu tega ya, si Imah kan
orangnya begitu...diapain apa enaknya...?” keluhnya. Aku tertawa juga mendengar
tanggapan Andi. “Yea...mau gimana lagi, kamu kan cocoknya yang seperti
itu...udahlah terima aja keadaan!” ledekkku lagi. Andi tampak gusar. Namun tak
lama kejengkelannya meredam juga. Dengan sedikit memelas Andi memintaku lagi, “Tolonglah...
mungkin kamu lupa...dulu aku pernah minta tolong untuk gadis ini, tapi kamu
malah ngasi gadis yang laen, dan akhirnya gagal lagi gagal lagi. tolong untuk
yang satu ini... aku sudah terlanjur cinta sejak lama...setelah aku pikir-pikir
gadis itu cintaku yang sebenarnya, tolong bantu untuk terkhir kalinya...aku
yakin setelah tujuh kali gagal, mungkin yang kedelapan kalinya berhasil dengan
bantuanmu bro”, Andi memintaku dengan penuh harap. Melihat keseriusan Andi, aku
berfikir sejenak dan tak lama aku pun mengangguk
dan menerima permintaannya untuk membantu ngelobi gadis idamannya. “Baiklah,
tar aku coba hubungi gadismu...!” kataku menyanggupi. Andi tersenyum puas, terkekeh
dengan girangnya, “Tapi janji ya jangan sampai suka padanya, sebab dia itu
cantik hehe...” katanya mengingatkan. Aku tersenyum dan meyakinkannya, “jangan
kuatir...emangnya aku pernah makan temen...” kataku dengan pasti.
Pagi
minggu yang cerah, secangkir kopi hangat menemaniku menikmati hangatnya sinar
mentari. Sejenak pikiranku melayang ke sebuah tempat yang pernah aku kunjungi
beberapa waktu lalu. Terlintas lagi bayangan seorang gadis manis. Aku tersenyum,
“aku akan mendapatkanmu sayang...” kataku meyakinkan diriku sendiri. Tapi tak
lama, aku teringat juga janjiku untuk membantu Andi untuk ngelobi gadisnya, “yeah...moga
saja Andi juga dapet pacar yang diidamkan...” kataku lirih berharap bisa
membantunya walaupun tidak begitu yakin akan berhasil. Tapi bagaimanapun juga
aku harus mencoba membantunya lagi. “yeah moga saja berhasil” kataku lagi setengah
berbisik sambil bersiap-siap untuk menemui gadisnya. Tak lama, aku berangkat ke
sebuah alamat rumah seorang gadis yang tertera pada selembar kertas yang
diberikan Andi. Dalam perjalanan aku membuka lagi lembaran alamat yang sekilas
pernah aku lihat, namun kali ini aku melihatnya dlebih teliti agar jangan salah
alamat. Sejenak aku tertegun, seakan ada sesuatu yang aneh dalam catatan alamat
di tanganku. Aku menjadi ragu, “mungkin ada yang salah pada tulisannya”,
pikirku. Kekhawatiran menyelimuti pikiranku, namun setelah berfikir sejenak,
aku melanjutkn lagi perjalananku sambil berharap apa yang aku khawatirkan tidak
benar terjadi. Akhirnya aku tiba di alamat yang aku tuju, dengan sopan aku
memberi salam dan mengetuk pintu. Sesaat timbul lagi keraguanku, otak kecilku
dipenuhi andaian-andaian, aku mendesis lirih, “huh...semoga saja bukan dia...”.
Keraguan dihatiku semakin menjadi ketika sayup-sayup terdengar langkah kaki
menghampiri pintu. Suara putaran kunci membuatku merasa seharusnya tidak berada
di tempat itu. “Walekomsalim...!” suara dari balik pintu yang terbuka membuat jantungku
kian berdetak. “Cari siapa nak...?” seorang ibu menyapaku dengan tersenyum
ramah. Dengan penuh keraaguan aku menjawab “Saya mencari Nela bu...apa bener
alamatnya disni...?”. Sang ibu tersenyum lagi, “Ooo...Nela ada kok...mari
silahkan masuk!” Ibu itu menawarkan. Setelah dipersilahkan aku pun masuk dan
duduk di sebuah sopa. Selang beberapa menit seorang gadis dengan senyum manis
menghampiriku. Gadis itu menghentikan langkahnya, dia berdiri beberapa langkah
di depanku. Senyum manisnya mengembang, tatapan matanya bersinar, raut wajahnya
seakan menyimpan sebuah kerinduan yang dalam. Aku tertegun beberapa saat,
aliran darahku melonjak, jantungku berdegup kencang. “Oh Tuhan...” keraguanku terpecahkan, semua
yang aku khawatirkan malah benar-benar terjadi. Dalam goncangan jiwa dan
kebingingan aku membalas senyum gadis di depanku. Ternyata dia gadis yang
pernah aku temani di sebuah Rumah Kesehatan dua minggu lalu, gadis yang pernah
aku beri harapan, gadis yang menghantui pikiranku akhir-akhir ini. Tanpa ada
kata-kata sapaan, gadis itu berhamburan kearahku, mendekap erat tubuhku, dan
sesaat membenamkan wajahnya untuk melepaskan segala kerinduannya selama ini. Betapa
senangnya hatiku, akhirnya aku dapat menebus semua khayalanku. Namun sesaat aku
tertegun, rasa cemas menyerbu di benakku. Aku merasa seakan ada yang salah. Aku
membalas dekapan antara perasaan senang dan cemas. Tak lama aku melepaskan
pelukannya, dia menatapku lekat, senyum manisnya seakan mengisaratkan kepuasan
hati. Aku menatapnya juga, perasan senang bercampur rasa tak enak merasuki alam
pikiranku. “Apa yang terjadi....? Apa arti dari semua ini....? Apa ada yang
salah dalam diriku...?” Apa aku benar-benar menemuinya untuk menepati
janjiku...? Ataukah aku menemuinya untuk diriku atau untuk sahabatku Andi...? pertanyaan-pertanyaan
timbul dalam diriku. Entahlah, aku menjadi semakin bingung. Memang aku kesini
menemui gadis itu sebagai utusan sahabatku, tapi ternyata tujuanku pada gadis
yang sama, gadis yang juga aku harapkan. Sejenak ku coba untuk menenangkan
pikiran. Tampak Nela tersenyum penuh kebahagiaan. “kakak knapa baru sekarang
kesini...?” Nela mulai memecah kebisuan. Aku yang beberapa saat hanya diam,
tersenyum juga mendengar sapaan itu. “Aku baru sekarang ada waktu...oya
bagaimana kabarmu?”. aku mencoba menanggapinya. “Apa kakak tau selama ini aku
selalu menunggu kehadiran kakak.... aku selalu berharap janji kakak untuk
menemuiku bener-bener ditepati.” Nela
berbicara sambil terus memandangiku. Kata-katanya terdengar begitu manja, namun
hal ini malah membuatku menjadi tambah bingung. “Apa aku harus menjadi diriku atau untuk temanku?” pikiran itu
menggangguku lagi. Setelah sekian kali aku pertimbangkan, aku mencoba untuk
mengambil keputusan untuk mengikuti keadaan saat ini. Ini gadis yang
mengharapkanku, begitu juga denganku yang sudah mulai sayang padanya. “mungkinkah aku mengatakan tujuanku yang
sebenarnya...?”. Pikiranku semakin kacau. Tapi anehnya, semakin lama aku
pikirkan, ada perasaan lain yang timbul dalam benakku, rasa tak rela
kehilangan. “Jika aku utamakan temanku,
lalu bagaimana denganku, bagaimana dengan gadis ini, apa dia bisa menerima?”
aku berfikir dengan bijak. Aku tak mungkin menghancurkan harapan gadis yang ku
sayangi hanya untuk melemparkannya pada temanku
yang aku rasa juga tak pantas untuk mendapatkannya. Dengan peraasaan berat,
akhirnya aku memutuskan untuk menemani gadis ini untuk diriku. Tentang hal ini
aku akan menceritakan yang terjadi pada
Andi sahabatku. “Kak, kok ngelamun sih, emang mikirin apa...?” Nela menegurku dengan
sedikit bertingkah. Aku tersadar dan tersenyum menatap gadis manisku yang
tampak semakin manja. Dalam hati kecilku, aku memantapkan diri, “Inilah aku, inilah gadisku, aku berjanji
tidak akan menyia-nyiakan gadisku, tak ku relakan gadisku untuknya ”.
Pagi hari sayup-sayup terdengar suara memanggil-manggil
namaku. Alam bawah sadarku berontak ketika tubuhku terasa digoyang-goyangkan.
Dengan sedikit berat aku coba membuka mata. Tubuhku masih terasa ngantuk setelah
semalam suntuk tidak bisa tidur dengan berbagai pikiran tentang gadis yang
menambatkan cintanya kepadaku dan juga tentang sahabatku Andi yang sudah sejak
lama mengidamkan gadis itu. Samar-samar ku lihat Andi tampak terseyum sambil
menyapaku, “udah pukul sembilan nih...bangun dong. enak sekali tidurnya sampai
seginian belum bangun-bangun...!”. Seketika aku terkesiap, rasa ngantukku
hilang seketika, pikiranku bertambah kacau setelah benar-benar sadar Andi ada
didekatku. Aku melongo, aku tak pernah merasa setolol ini, namun aku berusaha
menyambutnya dengan senyum walaupun hatiku masih diguncangkan dengan keberadaannya
saat ini. “Hmmm...iya nih aku tidurnya
larut...!” jawabku singkat. Dengan cengingiran Andi menggodaku, “emangnya tadi
malem ngapain...atau jangan-jangan mikirin cewe lagi...’’. Aku tidak langsung
menanggapinya, pikiranku terasa begitu berat. Aku tau kedatangannya hendak
menanyakan tenatang gadis itu. Namun aku mesti meyakinkan diriku sekali lagi
untuk menjelaskan apa yang terjadi dan siapa sebenarnya gadis yang diincarnya. Dengan
segera aku melepas selimut dan bangkit dari tempat tidurku. “tunggu bentar, ada
yang ingin aku omongin...” kataku sambil meninggalkan Andi yang masih cengar
cengir di tepi tempat tidurku. Aku melangkah ke kamar mandi. Dengan perlahan
guyuran air segera mengalir di sekujur tubuhku. Kesegarannya begitu terasa,
sehingga menghilangkan rasa ngantukku, tapi kesegaran air itu tidak bisa
menghilangkan beban pikiranku. Ku biaran saja air mengalir menembus
pori-poriku. Aku tertegun disela-sela semburan air mengingat apa yang sedang aku hadapi saat
ini. “yeah apa boleh buat, aku mesti
menjelaskan Andi tentang Nela, biar ada kesalahfahaman” pikirku dalam hati.
Sayup-sayup terdengar suara bel berbunyi, tapi aku santai saja menikmati
lamunanku disela-sela percikan air. Selang beberapa menit, “Tok tok tok”
ketukan pintu di kamar mandi membuyarkan lamunanku, “siapa...?” tanyaku ragu.
“Hehe terima kasih sob, ternyata kamu bener-bener berhasil membantuku. Hehe gadis
ku datang untukku.” Dengan girang Andi terkekeh meninggalkanku yang penuh
keheranan. “siapa...gadis yang mana....Andi....Andi...” panggilku semakin
heran. Aku mencoba menebak apa yang terjadi. seketika pikiranku tertuju pada
gadis itu. Iya Nela, kemaren dia bilang ingin kesini menemuiku. “Ah sialan...”
umapatku. Dengan tergesa-gesa aku menyelesaikan mandiku dan terburu-buru menuju
ruang tamu. Setiba disana bagai di sambar petir, aku hampir terlonjak terkejut
sejadinya ketika kutemukan Nela berdiri tak jauh di depanku. Bola matanya yang
bening menahan tetesan air mata. Nela menatapku tajam seakan ada kekesalan dan
kekecewaan bersarang di tatapannya. Hatiku berguncang, pikiranku bekerja keras
mencari tahu apa yang telah terjadi dalam beberapa saat ini. Keadaan menjadi
sedikit tegang. Sekilas aku mengalihkan pandangan ku ke arah Andi mencari tahu
jawaban dari semua yang ku saksikan saat ini, namun Andi yang dari tadi
mematung berbalik menatapku tajam. “kamu menghianatiku...!” katanya singkat.
Mendengar jawaban itu hatiku kian memanas. Ada kesalah fahaman terjadi dalam
waktu sesingkat itu. Aku yakin Andi menjelaskan sesuatu pada gadis itu hingga
membuatnya menjadi seperti ini. Aliran darah ku mengalir dahsyat. Kejengkelan
dan kemarahan menyelimuti jiwaku. “aku kan sudah bilang, tunggu aku, aku akan
jelasin semuanya...tapi kenapa kamu begitu ceroboh!” kataku pada Andi dengan
nada sedikit tinggi. Sesaat ku tertegun lagi ketika Nela tanpa kata-kata
bergegas meninggalkan tempat itu dengan terisak. Tanpa pikir lagi aku menyusul
dan menarik tangannya, “tunggu dulu sayang, dengarkan aku dulu...ini salah
faham, tapi biarkan aku jelasin semuanya...” kataku sambil mencoba menahannya,
namun gadis itu terus meronta melepaskan genggaman tanganku dan berlari
meninggalkanku dengan isak tangisnya. Seketika hatiku terasa kacau, kemarahan
ku tak bisa tertahan lagi. aku menghampiri Andi yang sempat menyaksikan semua
kejadian itu. “Apa yang kamu katakan pada Nela?” tanyaku ketus. Andi yang
tampak bingung juga menjelaskan, “tadi aku cuma bilang, aku mengutus kamu
menemuinya beberapa hari, aku menitip salam rindu buatnya, karna itu aku pikir
dia menerima cintaku dan datang menemuiku...” sejenak Andi terdiam lalu
melanjutkan lagi, “aku juga bingung kenapa tiba-tiba gadis itu terdiam lalu
menangis...” jelasnya. “apa Nela bilang sesuatu?” tanyaku lagi. Andi terdiam
sesaat tampak memikirkan sesuatu. “Iya...tadi dia sempat bilang...aku kira Aden
bener-bener menemuiku untuk memenuhi janjinya, tapi ternyata...dia menemuiku
untuk orang lain...katanya sambil menangis.” Jelas Andi. “sebenarnya itu yang
ingin aku jelaskan padamu, tapi apa yang terjadi...kamu tidak menunggu
penjelasan ku dulu, kamu begitu ceeroboh. gadis yang kamu inginkan itu gadis
yang beberapa waktu lalu aku kencani. Tapi sudahlah aku tidak punya banyak
waktu menjelaskannya saat ini” jelasku. Andi tertegun mendengar penjelasan
singkatku. Dengan segera aku mengenakan pakaian dan meninggalkan Andi yang
masih terpaku dalam kebingungan. Dalam hati kecilku, aku menyadari semua
kekeliruan ini, ada rasa kasihan pada Andi sahabatku yang begitu berharap
cintanya terbalas. Tapi sayang, cintanya tertaut pada gadis yang sama, gadis
yang aku cintai.
Matahari pagi tampak kian tinggi, sinarnya sudah mulai terasa
panas. Aku berlari-lari kecil melintasi jalan yang masih belum beraspal. Tapi
tentu bukan untuk lari pagi karna waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih. Sekitar
lima belas menit sejak kejadian tadi membuatku masih berharap dapat menjumpai
Nela yang baru saja meninggalkanku tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan
semua yang terjadi. Pandangan ku jauh ke depan, namun sosok seorang gadis tak
tampak juga di pandanganku. Hanya beberapa orang saja di samping jalan menyapa,
“Ehem...tumben lari ampe sginian...mimpi apa tadi...”. Aku hanya tersenyum
menanggapi sapaan itu dan terus melanjutkan menempuh jalan bertanah hingga
akhirnya aku tiba juga di depan sebuah rumah yang kemaren aku kunjungi. Aku
menghentikan langkahku, “sial, cepet sekali dia nyampe rumah...” kataku pelan.
Aku mengatur nafas yang masih sedikit tersengal-sengal. Tidak lama seorang ibu
keluar dari pintu depan dengan senyum ramahnya. Aku tersenyum juga dan
menghampirinya. “maaf bu, Nelanya ada...?” tanyaku. Dengan ramah ibu itu
menjawab, “bukannya tadi Nela ke rumahmu...emangnya ada apa?’’ ibu itu balik
bertanya. Aku berfikir sejenak. “kemana
gadis itu...” pikirku dalam hati. Aku bingung harus mengatakan apa pada ibu
Nela yang seakan menunggu penjelasan dariku. “Entahlah bu, tadi Nela kesana, tapi
rupanya ada kesalahfahaman trus dianya ngambek dan pergi begitu saja...aku
menyusulnya, tapi di jalan juga tidak ketemu...” jelasku. Sang ibu bukannya
marah tapi malah tersenyum simpul. Gelagat sang ibu membuatku sedikit curiga.
Tanpa sengaja aku melihat ke arah jendela. Tirainya sedikit tergeser, aku
menjadi tambah yakin Nela ada di sana. “mungkin
saja Nela tidak ingin bertemu saat ini,” pikirku. “Baliklah kalau begitu,
aku pamit bu...” kataku meminta diri.
Sang ibu mengangguk. Aku melangkah membalikkan tubuhku dengan kecewa. Kegundahan
mengiringi langkah-langkahku meninggalkan pekarangan rumahnya. Semua yang
terjadi hari ini terasa begitu cepat. Hati
kecilku belum bisa menerima semua itu, “aku
akan menjelaskan semuanya” janjiku dalam hati. Aku melangkah semakin jauh
meninggalkan rumah Nela. Pikiranku benar-benar kacau. Namun tak lama, “Kak...”
suara lirih terdengar jelas di telingaku. Aku membalikkan tubuhku. Tampak
seorang gadis berdiri di belakangku. Wajah
ayu yang selama ini membayangiku, yang selalu membuatku tersenyum seorang diri,
yang telah membuatku mengakui diriku benar-benar telah mencintai seorang gadis,
kini wajah itu berada di depanku. Aku mendekatinya, bersamaan dengan itu Nela
berhamburan kearahku, memelukku, mendekap erat ditubuhku, dan menumpahkan
bendungan air mata di pundakku. Kali ini aku benar-benar membalas pelukannya.
Aku membelainya dengan penuh sayang. Nela tersedu, disela-sela isak tangisnya
dia memaki, “kakak jahat...kakak bohong...kakak telah membuatku menangis...”
kata-kata Nela membuatku semakin luluh. Aku memeluknya semakin erat, tangisnya semakin menjadi. Sesaat ku lepaskan
pelukannya, aku memandangi dan mengecup keningnya dengan rasa sayang. “maafkan
semua yang telah terjadi...semua itu salah faham, tapi yang mesti kamu tahu...perasaanku
lebih dari apa yang kamu rasakan selama ini...”. Aku meyakinkan Nela sambil
sesekali mengusap air yang menetes di pipinya. “aku janji mulai saat ini...aku
akan benar-benar menjagamu...aku takkan rela siapa saja mendekatimu...”. Nela
mengangguk, bibir manisnya mulai mekar menyumbangkan sebuah senyum manis seperti
sedianya.
No comments:
Post a Comment