close

Monday, December 28, 2015

CINTA SEGI TIGA SEMBARANG




Suasana di sebuah Pusat Kesehatan (PKM) tidak begitu ramai. Jumlah pasien yang dirawat hari itu sedikit dan hanya beberapa orang penjenguk saja yang tampak menemani para pasien. Keadaan tidak begitu ricuh seperti saat-saat ramai pengunjung. Di salah satu koridor, tampak seorang gadis sesekali menengok kearahku. Gelagatnya yang begitu kentara membuatku merasa di atas angin. Aku tersenyum, dan ku biarkan saja gadis itu mencuri perhatianku. Di suatu saat aku balek menatapnya sambil tersenyum ramah, gadis itu tersipu namun akhirnya tersenyum juga. Itu gadis yang tadi membantuku memapah salah satu keluargaku saat baru tiba disini. Setelah terasa cukup beracting, aku menghampirinya dan dia menyambut kehadiranku dengan tingkah yang serba salah. Melihat tingkahnya, aku yakin langkah awal berhasil, karna itu dengan sedikit santai aku mulai menyapa, ‘’Siapa yang sakit dek?’’tanyaku ramah. Gadis itu tersenyum sambil merapikan rambutnya yang sudah rapi ‘’kakak’’ jawabnya singkat. Gadis itu tampak sedikit gugup. Dalam hatiku aku tersenyum ‘’hehe, ternyata actingku berhasil juga,” Itulah salah satu trik yang sering aku gunakan dikala mengincar seorang gadis. Tanpa mereka sadari aku juga mencuri perhatiannya dengan berbagai acting hingga bisa menjadi fokus perhatian. Dengan demikian, ketika aku menghampirinya setidaknya ada rasa ketertarikannya padaku. Begitu juga dengan gadis yang saat ini menjadi targetku. Setelah langkah pertama berhasil membuatnya merasa sedikit terkesan, langkah selanjutnya dengan mengakrabkan diri. Dengan  memperhitungkan situasi yang tepat, tiba saatnya langkah kedua untuk membuatnya lebih tertarik lagi, ‘’Oya terima kasi buat yang tadi...!’’ kataku menyambung percakapan. Gadis itu menyungutkan bibirnya, ‘’ Nggak apa, biasa aja...!’’ jawabnya sambil meremas-remas kedua tangannya. Tingkah lakunya membuatku semakin senang. Namun demikian aku tetap menjaga penampilan agar tetap eksis, dengan tetap tenang seakan tidak memperhatikan setiap perubahan sikapnya. ‘’Udah lama disini?’’ lanjutku. ‘’Emm...dari kemaren! oleh pak dokter katanya kak Reni belum bisa dibawa pulang... kalo kakak...bagimana?’’ jelasnya dan balik bertanya. Aku meresponnya dengan relak “Ooh...itu tadi Ibu...kata dokter demamnya tinggi mesti dirawat inap!” jelasku. Gadis itu mengangguk perlahan, bibir manisnya sedikit mencibir. Sesaat kuperhatikan, ternyata aku tidak salah, gadis itu memang manis. Dengan agak ragu dia bertanya lagi ‘’berarti natar malem kakak nginap disini?’’. Gadis itu mengernynitkan alisnya. Aku menatapnya dan menawarkan senyum yang sedikit berarti, “tergantung...” jawabku singkat. Gadis itu mengerti aku memancing responnya, dia tersenyum simpul. “maksud kakak...?” tanyanya lagi. “Yea....kalo kamu disini mungkin saja...” godaku dengan nada sedikit menggantung jawaban. Tampaknya gadis itu respek juga, dia tersipu, mukanya sedikit memerah, dia tampak semakin gugup, sesekali rambut ikalnya dirapiin lagi, aku tersenyum juga. ‘’Emang kenapa dengan aku...?’’ katanya dengan sedikit malu. ‘’Yea....kalau kamu disini...sudah pasti aku disini juga buat jagain kamu, sayang juga gadis semanis kamu ntar ada yang godain...biar ntar aku temani dan jagain kamu... bagaimana?’’ tawarku. Gadis itu menunduk, terdiam sejenak, namun beberapa saat dia menganggukan kepala secara perlahan. “yeah inilah kesempatan baik’’ kataku dalam hati. Setelah berhasil mencuri simpatik gadis itu, “saatnya mengeluarkan jurus-jurus rayuan penakluk” pikirku dalam hati. Dengan sedikit menguasai situasi aku melanjutkan percakapan dengan berbagai basa basi dan rayuan gombal untuk membuat gadis itu semakin terpedaya. Dalam waktu singkat saja aku berhasil membuat keadaan semakin menguntungkan. Sedikit demi sedikit gadis itu mulai merasa nyaman dan lebih respek lagi. Tampak sekali keceriaan di wajah cantiknya. Gadis itu benar-benar terpikat dengan kata-kata manis dan rayuan. Perbincangan pun berlanjut sampai aku dan gadis itu benar-benar akrab. Gadis itu merasa semakin simpatik lagi ketika aku sesekali menyempatkan diri menengok kakaknya di salah satu ruang opname. Begitu sebaliknya, gadis itu tidak merasa sungkan menengok Ibu di ruang lainnya. Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat, malam kian larut, namun dalam waktu yang sesingkat itu telah membuat ukiran asmara di hati seorang gadis. Begitulah, malam itu ku habiskan untuk menemani seorang gadis bodoh yang butuh perhatian khusus, tanpa terasa sebuah ciuman mesra menjadi bukti dari sebuah pertemuan di Rumah Kesehatan.

Keesokan harinya, Ibu mendapat rujukan ke Rumah Sakit Umum karna ada gejala lain terkait demamnya. Bersama beberapa anggota keluarga yang lain aku berkemas-kemas setelah mengurus surat rujukan. Tak jauh dari tempatku tampak seorang gadis menatapku. Gadis itu baru selesai mencuci muka setelah bangun kesiangan. Aku menghampirinya yang tak pernah lepas memandangiku. “Kakak sudah mau pulang?” tanya gadis itu dengan nada sedih. “Iya...Ibu di rujuk ke Rumah Sakit Umum, tapi jangan kuatir...aku pasti temui kamu lagi...” aku menjelaskan dengan sedikit perhatian. Dia menatapku tajam, seakan ingin mengatakan sesuatu. Tampak kekecewaan di wajahnya. “kak...” suara lirih keluar dari bibir manisnya yang sedikir bergetar. Aku membalas tatapannya. Dari tatapannya tampak sekali  gadis itu masih ingin bersama, masih ingin menikmati indahnya saat-saat seperti malam tadi. “kenapa sayang...kamu jangan kuatir aku tak kan pergi jauh...nanti juga aku pasti menemuimu!” kataku memberikannya sedikit harapan. Gadis itu melanjutkan lagi “tapi aku belum tau nama kakak...” katanya dengan dengan ragu. Kata-kata itu sempat membuatku terdiam dan sadar, betapa tidak setelah semalaman suntuk aku menemani dan mengencaninya dengan mesra namun aku belum sempat sekedar memperkenalkan diri dan menanyakan namanya. Itulah sifat burukku yang cepat sekali akrab dengan siapa saja tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu. Semua yang ku jalani sesuai situasi dan keadaan saat itu. Mengingat hal itu dengan lebih perhatian lagi aku mendekati dan merapatkan tangan dipundaknya, ”hemm...maaf sayang, aku hampir lupa...aku memang bodoh... bisa-bisanya aku tidak tau nama gadis yang ku sayang... panggil saja aku Aden...bagimana dengan adek?” kataku dengan nada sedikit bersalah. Rupa-rupanya sentuhan halus tanganku di pundaknya membuatnya sedikit meresa tenang. Keraguan yang sempat membingungkannya sedikit berkurang. “namaku Nela kak... kakak tidak bohong kan...kakak bner akan menemuiku lagi...janji ya kak?” katanya dengan penuh harap. Aku mengangguk mengiyakannya, “jangan kuatir...aku janji!”. Kataku meyakinkannya walaupun sebenarnya aku sendiri tidak begitu yakin akan kesetiaanku. Dengan pandangan sayu gadis itu mengantarkan kepergianku, hanya sebuah senyuman yang aku berikan untuk mengakhiri kebersamaan hari itu.

       Dua pekan sudah semenjak pertemuanku dengan seorang gadis di sebuah Rumah Kesehatan. Aku merenung mengingat-ingat kejadian beberapa waktu lalu. Semalaman aku menemani seorang gadis dengan mesra dan memberikan sebuah harapan untuknya,  tapi keesokan harinya aku meninggalkannya tanpa memberi kabar lagi. Satu minggu Ibu dirawat di Rumah Sakit Umum membuatku fokus membantu segala kebutuhan selama perawatan. Hari-hariku kian sibuk hingga hampir melupakan seseorang yang telah menunggu kehadiranku. Aku tersenyum, terbayang lagi tingkah laku gadis itu,  gerak-geriknya, tatapannya, senyumnya, bibir manisnya, semua itu membuat pikiranku semakin terasa aneh. Walaupun aku pernah sayang pada setiap gadis, namun kali ini terasa sedikit berbeda. Gadis yang satu ini begitu unik. Mengenang kejadian singkat itu membuatku tersenyum sendiri. Aku menggeleng, seakan tidak begitu yakin perasaanku saat ini, “tak mungkin aku mencintainya...apalagi dalam kencan pertama, harusnya dia yang memikirkanku” gumamku lirih. Semakin aku menepis bayangan itu, malah semakin membuatku memikirkannya. “apa ini saatnya aku mengakui kelemahanku...”, pikirku dalam hati. Bayangan gadis itu kian menghantuiku. Aku menjadi resah, aku termakan dengan kata-kata dan sikapku selama ini. “Apa aku harus mengakui perasaanku saat ini?” aku bertanya pada diriku sendiri. Gadis itu memang sialan, dia telah membuatku menghabiskan waktu untuk merenung. Hati kecilku berkata, “baiklah, aku harus memilikinya”. Namun sesaat aku merasa bingung. Biasanya masalah nama dan alamat gadis urusan belakang, yang penting kencannya. Tapi kali ini aku salah, aku membutuhkannya saat ini, tapi bagaimana aku menemuinya, “huh....kemaren lupa tanya nama...sekarang bagaimana dengan alamatnya? dimana aku bisa menemuinya? bego!” aku mengatai diriku sendiri. Aku bertambah bingung lagi karan harus repot mencari tahu dimana alamat gadsiku. Kali ini aku merasa bodoh. Aku tambah gelisah dan menyadari keteledoranku. Awalnya aku berfikir gadis itu sama saja dengan gadis lain yang hanya akan aku mamfaatin. Tapi entahlah, kali ini memang terasa beda. Lebih dari itu, ada perasaan yang kuat mengganggu pikiranku. Gadis itu seakan meamiliki daya tarik tersendiri yang membuatku semakin ingin menjumpainya. Sifat dan perasaanku bertabrakan, keadaan mungkin sudah berbalik sekian derajat, tapi aku harus mengakui juga, saat ini aku benar-benar merasa telah jatuh hati.

Pada suatu sore Andi salah seorang temanku datang kerumah. Tujuan utamanya tidak lain hanya untuk berbicara tentang cewek-cewek. Seperti biasanya dia selalu membuka percakapan dengan kabar buruknya. Raut mukanya yang masam ditambah lagi dengan gerak-gerik bibirnya yang menguntaikan keluhan-keluhan membuatnya tampak konyol. Hal itu yang membuatku selalu menertawainya. Apalagi selama ini dia terkenal dengan gelar jomblo seumur-umur. Karna memang, setiap gadis yang diincarnya selalu menjauhinya. Tiap kali aku menyindir dan mengatainya bodoh, bego, tolol, ceroboh, tapi untungnya Andi tidak begitu peduli  dengan sindiran-sindiran seperti itu, karna yang dia butuhkan hanya langkah-langkah dan trik yang jitu untuk menaklukkan hati gadis incarannya, walaupun akhirnya akan gagal juga. “hah...sial lagi  bro...! cewenya payah...!’’ katanya dengan menepis jidatnya. Aku hanya menggeleng menahan tawa. “Emangnya kenapa lagi...bukannya kemaren sudah ketemuan sama si Weni?’’ balasku. Andi menghela nafas, “iya itu masalahnya... aku janjian ma si Weni ketemuan di depan Columbia...’’, katanya sambil mengusap wajahnya. Walaupun sudah menebak kegagalannya, namun aku penasaran juga jalan ceritanya. “iya emangnya kenapa...apa ada kendala?’’ Tanyaku penasararan. Dengan kesal Andi melanjutkan  ceritanya ‘’aku kan sudah menunggu dua jam lebih di depan Columbia...tidak lama ada cewek parkir di seberang jalan tak jauh dari tempatku. Aku yakin itu si Weni. Saat ku coba menelpon nomor yang kamu berikan itu,  ku lihat gadis di seberang itu mengangkat Handphonnya, aku bilang padanya kalo aku sudah menunggu di depan Columbia. Tak lama gadis itu menghampiriku...awalnya aku pura-pura tidak memperhatikan kehadirannya karna aku yakin dia akan menegurku. Tapi setiba di depanku dia tidak berhenti...eeehh malah dia jalan terus sampai ke ujung sana. Sialan...Aku sadar...aku orang jelak....’’. katanya mengeluhkan keadaannya. Mendengar ceritanya perutku sakit menahan tawa. “Siapa juga yang bilang kamu cakep...makanya selera jangan terlalu tinggi, cari aja cewek yang sederhana pasti banyak kok!” kataku menimpali. Mendengar sindiranku Andi tampak semakin kesal, namun beberapa saat wajahnya bersinar lagi, “tunggu dulu bro...aku ada satu lagi target...!” Andi terkekeh. Aku tersenyum lagi, “Yea...baguslah...asalkan gadisnya standar pasti bisa...!” kataku memberi masukan. Andi mulai memaparkan, “Itu masalahnya bro...gadisnya cantik juga sih, dia gadis yang paling lama aku incar.” Dengan penuh gairah Andi melanjutkan penjelasannya “enam bulan sudah gadis itu menjadi idamanku, pertama aku menyapanya dia menghindar dan meninggalkanku begitu saja...satu saat aku berjumpa lagi, aku menawarkan jadi pacarnya tapi dia bilang “Aku belum siap pacaran. Ntar kalo aku dah gede baru aku bisa jawab permintaanmu!”. Setelah menunggu sekian lama akhirnya aku ketemu lagi dengannya Aku pikir ini kesempatan baik. Tanpa pikir lagi aku meminta janjinya, tapi dia bilang “Aku emang udah gede, tapi aku belum siap pacaran...ntar kalo aku dah siap, baru aku bisa ngejawab permintaanmu!” Huh setiap kali ada kesempatan selalu saja ada alasannya. Aku jadi kesel. Sudah tujuh kali aku mencoba menawarkan diri jadi pacarnya tapi jawabannya selalu diputer-puter. Gadis itu bner-bner menjengkelkan!” Andi mengeluhkan keadaan yang dialami. Aku yang sejak tadi hanya mendengarkan sambil menahan tawa hanya bisa memberi saran, “Udahlah itu artinya gadisnya tidak suka, cari aja yang laen...aku pasti bantu!” tawarku. Andi menarik nafas panjang, “kalo mau membantu, tolong bantu aku deket dengan gadis yang aku ceritakan tadi...aku tau kamu pasti bisa!” Andi memintaku dengan penuh harap. Aku mencoba menawarkan lagi, “Apa tidak bisa aku carikan yang laen saja...itu si Imah lagi butuh cowo, aku rasa kalian cocok, hehe” kataku sedikit bercanda. Andi tampak manyun, “kamu tega ya, si Imah kan orangnya begitu...diapain apa enaknya...?” keluhnya. Aku tertawa juga mendengar tanggapan Andi. “Yea...mau gimana lagi, kamu kan cocoknya yang seperti itu...udahlah terima aja keadaan!” ledekkku lagi. Andi tampak gusar. Namun tak lama kejengkelannya meredam juga. Dengan sedikit memelas Andi memintaku lagi, “Tolonglah... mungkin kamu lupa...dulu aku pernah minta tolong untuk gadis ini, tapi kamu malah ngasi gadis yang laen, dan akhirnya gagal lagi gagal lagi. tolong untuk yang satu ini... aku sudah terlanjur cinta sejak lama...setelah aku pikir-pikir gadis itu cintaku yang sebenarnya, tolong bantu untuk terkhir kalinya...aku yakin setelah tujuh kali gagal, mungkin yang kedelapan kalinya berhasil dengan bantuanmu bro”, Andi memintaku dengan penuh harap. Melihat keseriusan Andi, aku berfikir sejenak  dan tak lama aku pun mengangguk dan menerima permintaannya untuk membantu ngelobi gadis idamannya. “Baiklah, tar aku coba hubungi gadismu...!” kataku menyanggupi. Andi tersenyum puas, terkekeh dengan girangnya, “Tapi janji ya jangan sampai suka padanya, sebab dia itu cantik hehe...” katanya mengingatkan. Aku tersenyum dan meyakinkannya, “jangan kuatir...emangnya aku pernah makan temen...” kataku dengan pasti.

Pagi minggu yang cerah, secangkir kopi hangat menemaniku menikmati hangatnya sinar mentari. Sejenak pikiranku melayang ke sebuah tempat yang pernah aku kunjungi beberapa waktu lalu. Terlintas lagi bayangan seorang gadis manis. Aku tersenyum, “aku akan mendapatkanmu sayang...” kataku meyakinkan diriku sendiri. Tapi tak lama, aku teringat juga janjiku untuk membantu Andi untuk ngelobi gadisnya, “yeah...moga saja Andi juga dapet pacar yang diidamkan...” kataku lirih berharap bisa membantunya walaupun tidak begitu yakin akan berhasil. Tapi bagaimanapun juga aku harus mencoba membantunya lagi. “yeah moga saja berhasil” kataku lagi setengah berbisik sambil bersiap-siap untuk menemui gadisnya. Tak lama, aku berangkat ke sebuah alamat rumah seorang gadis yang tertera pada selembar kertas yang diberikan Andi. Dalam perjalanan aku membuka lagi lembaran alamat yang sekilas pernah aku lihat, namun kali ini aku melihatnya dlebih teliti agar jangan salah alamat. Sejenak aku tertegun, seakan ada sesuatu yang aneh dalam catatan alamat di tanganku. Aku menjadi ragu, “mungkin ada yang salah pada tulisannya”, pikirku. Kekhawatiran menyelimuti pikiranku, namun setelah berfikir sejenak, aku melanjutkn lagi perjalananku sambil berharap apa yang aku khawatirkan tidak benar terjadi. Akhirnya aku tiba di alamat yang aku tuju, dengan sopan aku memberi salam dan mengetuk pintu. Sesaat timbul lagi keraguanku, otak kecilku dipenuhi andaian-andaian, aku mendesis lirih, “huh...semoga saja bukan dia...”. Keraguan dihatiku semakin menjadi ketika sayup-sayup terdengar langkah kaki menghampiri pintu. Suara putaran kunci membuatku merasa seharusnya tidak berada di tempat itu. “Walekomsalim...!” suara dari  balik pintu yang terbuka membuat jantungku kian berdetak. “Cari siapa nak...?” seorang ibu menyapaku dengan tersenyum ramah. Dengan penuh keraaguan aku menjawab “Saya mencari Nela bu...apa bener alamatnya disni...?”. Sang ibu tersenyum lagi, “Ooo...Nela ada kok...mari silahkan masuk!” Ibu itu menawarkan. Setelah dipersilahkan aku pun masuk dan duduk di sebuah sopa. Selang beberapa menit seorang gadis dengan senyum manis menghampiriku. Gadis itu menghentikan langkahnya, dia berdiri beberapa langkah di depanku. Senyum manisnya mengembang, tatapan matanya bersinar, raut wajahnya seakan menyimpan sebuah kerinduan yang dalam. Aku tertegun beberapa saat, aliran darahku melonjak, jantungku berdegup kencang.  “Oh Tuhan...” keraguanku terpecahkan, semua yang aku khawatirkan malah benar-benar terjadi. Dalam goncangan jiwa dan kebingingan aku membalas senyum gadis di depanku. Ternyata dia gadis yang pernah aku temani di sebuah Rumah Kesehatan dua minggu lalu, gadis yang pernah aku beri harapan, gadis yang menghantui pikiranku akhir-akhir ini. Tanpa ada kata-kata sapaan, gadis itu berhamburan kearahku, mendekap erat tubuhku, dan sesaat membenamkan wajahnya untuk melepaskan segala kerinduannya selama ini. Betapa senangnya hatiku, akhirnya aku dapat menebus semua khayalanku. Namun sesaat aku tertegun, rasa cemas menyerbu di benakku. Aku merasa seakan ada yang salah. Aku membalas dekapan antara perasaan senang dan cemas. Tak lama aku melepaskan pelukannya, dia menatapku lekat, senyum manisnya seakan mengisaratkan kepuasan hati. Aku menatapnya juga, perasan senang bercampur rasa tak enak merasuki alam pikiranku. “Apa yang terjadi....? Apa arti dari semua ini....? Apa ada yang salah dalam diriku...?” Apa aku benar-benar menemuinya untuk menepati janjiku...? Ataukah aku menemuinya untuk diriku atau untuk sahabatku Andi...? pertanyaan-pertanyaan timbul dalam diriku. Entahlah, aku menjadi semakin bingung. Memang aku kesini menemui gadis itu sebagai utusan sahabatku, tapi ternyata tujuanku pada gadis yang sama, gadis yang juga aku harapkan. Sejenak ku coba untuk menenangkan pikiran. Tampak Nela tersenyum penuh kebahagiaan. “kakak knapa baru sekarang kesini...?” Nela mulai memecah kebisuan. Aku yang beberapa saat hanya diam, tersenyum juga mendengar sapaan itu. “Aku baru sekarang ada waktu...oya bagaimana kabarmu?”. aku mencoba menanggapinya. “Apa kakak tau selama ini aku selalu menunggu kehadiran kakak.... aku selalu berharap janji kakak untuk menemuiku bener-bener ditepati.”  Nela berbicara sambil terus memandangiku. Kata-katanya terdengar begitu manja, namun hal ini malah membuatku menjadi tambah bingung. “Apa aku harus menjadi diriku atau untuk temanku?” pikiran itu menggangguku lagi. Setelah sekian kali aku pertimbangkan, aku mencoba untuk mengambil keputusan untuk mengikuti keadaan saat ini. Ini gadis yang mengharapkanku, begitu juga denganku yang sudah mulai sayang padanya. “mungkinkah aku mengatakan tujuanku yang sebenarnya...?”. Pikiranku semakin kacau. Tapi anehnya, semakin lama aku pikirkan, ada perasaan lain yang timbul dalam benakku, rasa tak rela kehilangan. “Jika aku utamakan temanku, lalu bagaimana denganku, bagaimana dengan gadis ini, apa dia bisa menerima?” aku berfikir dengan bijak. Aku tak mungkin menghancurkan harapan gadis yang ku sayangi hanya untuk melemparkannya pada temanku  yang aku rasa juga tak pantas untuk mendapatkannya. Dengan peraasaan berat, akhirnya aku memutuskan untuk menemani gadis ini untuk diriku. Tentang hal ini aku akan  menceritakan yang terjadi pada Andi sahabatku. “Kak, kok ngelamun sih, emang mikirin apa...?” Nela menegurku dengan sedikit bertingkah. Aku tersadar dan tersenyum menatap gadis manisku yang tampak semakin manja. Dalam hati kecilku, aku memantapkan diri, “Inilah aku, inilah gadisku, aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan gadisku, tak ku relakan gadisku untuknya ”.

            Pagi hari sayup-sayup terdengar suara memanggil-manggil namaku. Alam bawah sadarku berontak ketika tubuhku terasa digoyang-goyangkan. Dengan sedikit berat aku coba membuka mata. Tubuhku masih terasa ngantuk setelah semalam suntuk tidak bisa tidur dengan berbagai pikiran tentang gadis yang menambatkan cintanya kepadaku dan juga tentang sahabatku Andi yang sudah sejak lama mengidamkan gadis itu. Samar-samar ku lihat Andi tampak terseyum sambil menyapaku, “udah pukul sembilan nih...bangun dong. enak sekali tidurnya sampai seginian belum bangun-bangun...!”. Seketika aku terkesiap, rasa ngantukku hilang seketika, pikiranku bertambah kacau setelah benar-benar sadar Andi ada didekatku. Aku melongo, aku tak pernah merasa setolol ini, namun aku berusaha menyambutnya dengan senyum walaupun hatiku masih diguncangkan dengan keberadaannya saat ini.  “Hmmm...iya nih aku tidurnya larut...!” jawabku singkat. Dengan cengingiran Andi menggodaku, “emangnya tadi malem ngapain...atau jangan-jangan mikirin cewe lagi...’’. Aku tidak langsung menanggapinya, pikiranku terasa begitu berat. Aku tau kedatangannya hendak menanyakan tenatang gadis itu. Namun aku mesti meyakinkan diriku sekali lagi untuk menjelaskan apa yang terjadi dan siapa sebenarnya gadis yang diincarnya. Dengan segera aku melepas selimut dan bangkit dari tempat tidurku. “tunggu bentar, ada yang ingin aku omongin...” kataku sambil meninggalkan Andi yang masih cengar cengir di tepi tempat tidurku. Aku melangkah ke kamar mandi. Dengan perlahan guyuran air segera mengalir di sekujur tubuhku. Kesegarannya begitu terasa, sehingga menghilangkan rasa ngantukku, tapi kesegaran air itu tidak bisa menghilangkan beban pikiranku. Ku biaran saja air mengalir menembus pori-poriku. Aku tertegun disela-sela semburan air  mengingat apa yang sedang aku hadapi saat ini. “yeah apa boleh buat, aku mesti menjelaskan Andi tentang Nela, biar ada kesalahfahaman” pikirku dalam hati. Sayup-sayup terdengar suara bel berbunyi, tapi aku santai saja menikmati lamunanku disela-sela percikan air. Selang beberapa menit, “Tok tok tok” ketukan pintu di kamar mandi membuyarkan lamunanku, “siapa...?” tanyaku ragu. “Hehe terima kasih sob, ternyata kamu bener-bener berhasil membantuku. Hehe gadis ku datang untukku.” Dengan girang Andi terkekeh meninggalkanku yang penuh keheranan. “siapa...gadis yang mana....Andi....Andi...” panggilku semakin heran. Aku mencoba menebak apa yang terjadi. seketika pikiranku tertuju pada gadis itu. Iya Nela, kemaren dia bilang ingin kesini menemuiku. “Ah sialan...” umapatku. Dengan tergesa-gesa aku menyelesaikan mandiku dan terburu-buru menuju ruang tamu. Setiba disana bagai di sambar petir, aku hampir terlonjak terkejut sejadinya ketika kutemukan Nela berdiri tak jauh di depanku. Bola matanya yang bening menahan tetesan air mata. Nela menatapku tajam seakan ada kekesalan dan kekecewaan bersarang di tatapannya. Hatiku berguncang, pikiranku bekerja keras mencari tahu apa yang telah terjadi dalam beberapa saat ini. Keadaan menjadi sedikit tegang. Sekilas aku mengalihkan pandangan ku ke arah Andi mencari tahu jawaban dari semua yang ku saksikan saat ini, namun Andi yang dari tadi mematung berbalik menatapku tajam. “kamu menghianatiku...!” katanya singkat. Mendengar jawaban itu hatiku kian memanas. Ada kesalah fahaman terjadi dalam waktu sesingkat itu. Aku yakin Andi menjelaskan sesuatu pada gadis itu hingga membuatnya menjadi seperti ini. Aliran darah ku mengalir dahsyat. Kejengkelan dan kemarahan menyelimuti jiwaku. “aku kan sudah bilang, tunggu aku, aku akan jelasin semuanya...tapi kenapa kamu begitu ceroboh!” kataku pada Andi dengan nada sedikit tinggi. Sesaat ku tertegun lagi ketika Nela tanpa kata-kata bergegas meninggalkan tempat itu dengan terisak. Tanpa pikir lagi aku menyusul dan menarik tangannya, “tunggu dulu sayang, dengarkan aku dulu...ini salah faham, tapi biarkan aku jelasin semuanya...” kataku sambil mencoba menahannya, namun gadis itu terus meronta melepaskan genggaman tanganku dan berlari meninggalkanku dengan isak tangisnya. Seketika hatiku terasa kacau, kemarahan ku tak bisa tertahan lagi. aku menghampiri Andi yang sempat menyaksikan semua kejadian itu. “Apa yang kamu katakan pada Nela?” tanyaku ketus. Andi yang tampak bingung juga menjelaskan, “tadi aku cuma bilang, aku mengutus kamu menemuinya beberapa hari, aku menitip salam rindu buatnya, karna itu aku pikir dia menerima cintaku dan datang menemuiku...” sejenak Andi terdiam lalu melanjutkan lagi, “aku juga bingung kenapa tiba-tiba gadis itu terdiam lalu menangis...” jelasnya. “apa Nela bilang sesuatu?” tanyaku lagi. Andi terdiam sesaat tampak memikirkan sesuatu. “Iya...tadi dia sempat bilang...aku kira Aden bener-bener menemuiku untuk memenuhi janjinya, tapi ternyata...dia menemuiku untuk orang lain...katanya sambil menangis.” Jelas Andi. “sebenarnya itu yang ingin aku jelaskan padamu, tapi apa yang terjadi...kamu tidak menunggu penjelasan ku dulu, kamu begitu ceeroboh. gadis yang kamu inginkan itu gadis yang beberapa waktu lalu aku kencani. Tapi sudahlah aku tidak punya banyak waktu menjelaskannya saat ini” jelasku. Andi tertegun mendengar penjelasan singkatku. Dengan segera aku mengenakan pakaian dan meninggalkan Andi yang masih terpaku dalam kebingungan. Dalam hati kecilku, aku menyadari semua kekeliruan ini, ada rasa kasihan pada Andi sahabatku yang begitu berharap cintanya terbalas. Tapi sayang, cintanya tertaut pada gadis yang sama, gadis yang aku cintai.

            Matahari pagi tampak kian tinggi, sinarnya sudah mulai terasa panas. Aku berlari-lari kecil melintasi jalan yang masih belum beraspal. Tapi tentu bukan untuk lari pagi karna waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih. Sekitar lima belas menit sejak kejadian tadi membuatku masih berharap dapat menjumpai Nela yang baru saja meninggalkanku tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan semua yang terjadi. Pandangan ku jauh ke depan, namun sosok seorang gadis tak tampak juga di pandanganku. Hanya beberapa orang saja di samping jalan menyapa, “Ehem...tumben lari ampe sginian...mimpi apa tadi...”. Aku hanya tersenyum menanggapi sapaan itu dan terus melanjutkan menempuh jalan bertanah hingga akhirnya aku tiba juga di depan sebuah rumah yang kemaren aku kunjungi. Aku menghentikan langkahku, “sial, cepet sekali dia nyampe rumah...” kataku pelan. Aku mengatur nafas yang masih sedikit tersengal-sengal. Tidak lama seorang ibu keluar dari pintu depan dengan senyum ramahnya. Aku tersenyum juga dan menghampirinya. “maaf bu, Nelanya ada...?” tanyaku. Dengan ramah ibu itu menjawab, “bukannya tadi Nela ke rumahmu...emangnya ada apa?’’ ibu itu balik bertanya. Aku berfikir sejenak. “kemana gadis itu...” pikirku dalam hati. Aku bingung harus mengatakan apa pada ibu Nela yang seakan menunggu penjelasan dariku. “Entahlah bu, tadi Nela kesana, tapi rupanya ada kesalahfahaman trus dianya ngambek dan pergi begitu saja...aku menyusulnya, tapi di jalan juga tidak ketemu...” jelasku. Sang ibu bukannya marah tapi malah tersenyum simpul. Gelagat sang ibu membuatku sedikit curiga. Tanpa sengaja aku melihat ke arah jendela. Tirainya sedikit tergeser, aku menjadi tambah yakin Nela ada di sana. “mungkin saja Nela tidak ingin bertemu saat ini,” pikirku. “Baliklah kalau begitu, aku pamit bu...” kataku meminta diri.  Sang ibu mengangguk. Aku melangkah membalikkan tubuhku dengan kecewa. Kegundahan mengiringi langkah-langkahku meninggalkan pekarangan rumahnya. Semua yang terjadi hari ini terasa begitu cepat.  Hati kecilku belum bisa menerima semua itu, “aku akan menjelaskan semuanya” janjiku dalam hati. Aku melangkah semakin jauh meninggalkan rumah Nela. Pikiranku benar-benar kacau. Namun tak lama, “Kak...” suara lirih terdengar jelas di telingaku. Aku membalikkan tubuhku. Tampak seorang gadis berdiri di belakangku.  Wajah ayu yang selama ini membayangiku, yang selalu membuatku tersenyum seorang diri, yang telah membuatku mengakui diriku benar-benar telah mencintai seorang gadis, kini wajah itu berada di depanku. Aku mendekatinya, bersamaan dengan itu Nela berhamburan kearahku, memelukku, mendekap erat ditubuhku, dan menumpahkan bendungan air mata di pundakku. Kali ini aku benar-benar membalas pelukannya. Aku membelainya dengan penuh sayang. Nela tersedu, disela-sela isak tangisnya dia memaki, “kakak jahat...kakak bohong...kakak telah membuatku menangis...” kata-kata Nela membuatku semakin luluh. Aku memeluknya semakin erat,  tangisnya semakin menjadi. Sesaat ku lepaskan pelukannya, aku memandangi dan mengecup keningnya dengan rasa sayang. “maafkan semua yang telah terjadi...semua itu salah faham, tapi yang mesti kamu tahu...perasaanku lebih dari apa yang kamu rasakan selama ini...”. Aku meyakinkan Nela sambil sesekali mengusap air yang menetes di pipinya. “aku janji mulai saat ini...aku akan benar-benar menjagamu...aku takkan rela siapa saja mendekatimu...”. Nela mengangguk, bibir manisnya mulai mekar menyumbangkan sebuah senyum manis seperti sedianya.






No comments:

Post a Comment