close

Monday, December 28, 2015

CINTA SEGI TIGA SEMBARANG




Suasana di sebuah Pusat Kesehatan (PKM) tidak begitu ramai. Jumlah pasien yang dirawat hari itu sedikit dan hanya beberapa orang penjenguk saja yang tampak menemani para pasien. Keadaan tidak begitu ricuh seperti saat-saat ramai pengunjung. Di salah satu koridor, tampak seorang gadis sesekali menengok kearahku. Gelagatnya yang begitu kentara membuatku merasa di atas angin. Aku tersenyum, dan ku biarkan saja gadis itu mencuri perhatianku. Di suatu saat aku balek menatapnya sambil tersenyum ramah, gadis itu tersipu namun akhirnya tersenyum juga. Itu gadis yang tadi membantuku memapah salah satu keluargaku saat baru tiba disini. Setelah terasa cukup beracting, aku menghampirinya dan dia menyambut kehadiranku dengan tingkah yang serba salah. Melihat tingkahnya, aku yakin langkah awal berhasil, karna itu dengan sedikit santai aku mulai menyapa, ‘’Siapa yang sakit dek?’’tanyaku ramah. Gadis itu tersenyum sambil merapikan rambutnya yang sudah rapi ‘’kakak’’ jawabnya singkat. Gadis itu tampak sedikit gugup. Dalam hatiku aku tersenyum ‘’hehe, ternyata actingku berhasil juga,” Itulah salah satu trik yang sering aku gunakan dikala mengincar seorang gadis. Tanpa mereka sadari aku juga mencuri perhatiannya dengan berbagai acting hingga bisa menjadi fokus perhatian. Dengan demikian, ketika aku menghampirinya setidaknya ada rasa ketertarikannya padaku. Begitu juga dengan gadis yang saat ini menjadi targetku. Setelah langkah pertama berhasil membuatnya merasa sedikit terkesan, langkah selanjutnya dengan mengakrabkan diri. Dengan  memperhitungkan situasi yang tepat, tiba saatnya langkah kedua untuk membuatnya lebih tertarik lagi, ‘’Oya terima kasi buat yang tadi...!’’ kataku menyambung percakapan. Gadis itu menyungutkan bibirnya, ‘’ Nggak apa, biasa aja...!’’ jawabnya sambil meremas-remas kedua tangannya. Tingkah lakunya membuatku semakin senang. Namun demikian aku tetap menjaga penampilan agar tetap eksis, dengan tetap tenang seakan tidak memperhatikan setiap perubahan sikapnya. ‘’Udah lama disini?’’ lanjutku. ‘’Emm...dari kemaren! oleh pak dokter katanya kak Reni belum bisa dibawa pulang... kalo kakak...bagimana?’’ jelasnya dan balik bertanya. Aku meresponnya dengan relak “Ooh...itu tadi Ibu...kata dokter demamnya tinggi mesti dirawat inap!” jelasku. Gadis itu mengangguk perlahan, bibir manisnya sedikit mencibir. Sesaat kuperhatikan, ternyata aku tidak salah, gadis itu memang manis. Dengan agak ragu dia bertanya lagi ‘’berarti natar malem kakak nginap disini?’’. Gadis itu mengernynitkan alisnya. Aku menatapnya dan menawarkan senyum yang sedikit berarti, “tergantung...” jawabku singkat. Gadis itu mengerti aku memancing responnya, dia tersenyum simpul. “maksud kakak...?” tanyanya lagi. “Yea....kalo kamu disini mungkin saja...” godaku dengan nada sedikit menggantung jawaban. Tampaknya gadis itu respek juga, dia tersipu, mukanya sedikit memerah, dia tampak semakin gugup, sesekali rambut ikalnya dirapiin lagi, aku tersenyum juga. ‘’Emang kenapa dengan aku...?’’ katanya dengan sedikit malu. ‘’Yea....kalau kamu disini...sudah pasti aku disini juga buat jagain kamu, sayang juga gadis semanis kamu ntar ada yang godain...biar ntar aku temani dan jagain kamu... bagaimana?’’ tawarku. Gadis itu menunduk, terdiam sejenak, namun beberapa saat dia menganggukan kepala secara perlahan. “yeah inilah kesempatan baik’’ kataku dalam hati. Setelah berhasil mencuri simpatik gadis itu, “saatnya mengeluarkan jurus-jurus rayuan penakluk” pikirku dalam hati. Dengan sedikit menguasai situasi aku melanjutkan percakapan dengan berbagai basa basi dan rayuan gombal untuk membuat gadis itu semakin terpedaya. Dalam waktu singkat saja aku berhasil membuat keadaan semakin menguntungkan. Sedikit demi sedikit gadis itu mulai merasa nyaman dan lebih respek lagi. Tampak sekali keceriaan di wajah cantiknya. Gadis itu benar-benar terpikat dengan kata-kata manis dan rayuan. Perbincangan pun berlanjut sampai aku dan gadis itu benar-benar akrab. Gadis itu merasa semakin simpatik lagi ketika aku sesekali menyempatkan diri menengok kakaknya di salah satu ruang opname. Begitu sebaliknya, gadis itu tidak merasa sungkan menengok Ibu di ruang lainnya. Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat, malam kian larut, namun dalam waktu yang sesingkat itu telah membuat ukiran asmara di hati seorang gadis. Begitulah, malam itu ku habiskan untuk menemani seorang gadis bodoh yang butuh perhatian khusus, tanpa terasa sebuah ciuman mesra menjadi bukti dari sebuah pertemuan di Rumah Kesehatan.

Keesokan harinya, Ibu mendapat rujukan ke Rumah Sakit Umum karna ada gejala lain terkait demamnya. Bersama beberapa anggota keluarga yang lain aku berkemas-kemas setelah mengurus surat rujukan. Tak jauh dari tempatku tampak seorang gadis menatapku. Gadis itu baru selesai mencuci muka setelah bangun kesiangan. Aku menghampirinya yang tak pernah lepas memandangiku. “Kakak sudah mau pulang?” tanya gadis itu dengan nada sedih. “Iya...Ibu di rujuk ke Rumah Sakit Umum, tapi jangan kuatir...aku pasti temui kamu lagi...” aku menjelaskan dengan sedikit perhatian. Dia menatapku tajam, seakan ingin mengatakan sesuatu. Tampak kekecewaan di wajahnya. “kak...” suara lirih keluar dari bibir manisnya yang sedikir bergetar. Aku membalas tatapannya. Dari tatapannya tampak sekali  gadis itu masih ingin bersama, masih ingin menikmati indahnya saat-saat seperti malam tadi. “kenapa sayang...kamu jangan kuatir aku tak kan pergi jauh...nanti juga aku pasti menemuimu!” kataku memberikannya sedikit harapan. Gadis itu melanjutkan lagi “tapi aku belum tau nama kakak...” katanya dengan dengan ragu. Kata-kata itu sempat membuatku terdiam dan sadar, betapa tidak setelah semalaman suntuk aku menemani dan mengencaninya dengan mesra namun aku belum sempat sekedar memperkenalkan diri dan menanyakan namanya. Itulah sifat burukku yang cepat sekali akrab dengan siapa saja tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu. Semua yang ku jalani sesuai situasi dan keadaan saat itu. Mengingat hal itu dengan lebih perhatian lagi aku mendekati dan merapatkan tangan dipundaknya, ”hemm...maaf sayang, aku hampir lupa...aku memang bodoh... bisa-bisanya aku tidak tau nama gadis yang ku sayang... panggil saja aku Aden...bagimana dengan adek?” kataku dengan nada sedikit bersalah. Rupa-rupanya sentuhan halus tanganku di pundaknya membuatnya sedikit meresa tenang. Keraguan yang sempat membingungkannya sedikit berkurang. “namaku Nela kak... kakak tidak bohong kan...kakak bner akan menemuiku lagi...janji ya kak?” katanya dengan penuh harap. Aku mengangguk mengiyakannya, “jangan kuatir...aku janji!”. Kataku meyakinkannya walaupun sebenarnya aku sendiri tidak begitu yakin akan kesetiaanku. Dengan pandangan sayu gadis itu mengantarkan kepergianku, hanya sebuah senyuman yang aku berikan untuk mengakhiri kebersamaan hari itu.

       Dua pekan sudah semenjak pertemuanku dengan seorang gadis di sebuah Rumah Kesehatan. Aku merenung mengingat-ingat kejadian beberapa waktu lalu. Semalaman aku menemani seorang gadis dengan mesra dan memberikan sebuah harapan untuknya,  tapi keesokan harinya aku meninggalkannya tanpa memberi kabar lagi. Satu minggu Ibu dirawat di Rumah Sakit Umum membuatku fokus membantu segala kebutuhan selama perawatan. Hari-hariku kian sibuk hingga hampir melupakan seseorang yang telah menunggu kehadiranku. Aku tersenyum, terbayang lagi tingkah laku gadis itu,  gerak-geriknya, tatapannya, senyumnya, bibir manisnya, semua itu membuat pikiranku semakin terasa aneh. Walaupun aku pernah sayang pada setiap gadis, namun kali ini terasa sedikit berbeda. Gadis yang satu ini begitu unik. Mengenang kejadian singkat itu membuatku tersenyum sendiri. Aku menggeleng, seakan tidak begitu yakin perasaanku saat ini, “tak mungkin aku mencintainya...apalagi dalam kencan pertama, harusnya dia yang memikirkanku” gumamku lirih. Semakin aku menepis bayangan itu, malah semakin membuatku memikirkannya. “apa ini saatnya aku mengakui kelemahanku...”, pikirku dalam hati. Bayangan gadis itu kian menghantuiku. Aku menjadi resah, aku termakan dengan kata-kata dan sikapku selama ini. “Apa aku harus mengakui perasaanku saat ini?” aku bertanya pada diriku sendiri. Gadis itu memang sialan, dia telah membuatku menghabiskan waktu untuk merenung. Hati kecilku berkata, “baiklah, aku harus memilikinya”. Namun sesaat aku merasa bingung. Biasanya masalah nama dan alamat gadis urusan belakang, yang penting kencannya. Tapi kali ini aku salah, aku membutuhkannya saat ini, tapi bagaimana aku menemuinya, “huh....kemaren lupa tanya nama...sekarang bagaimana dengan alamatnya? dimana aku bisa menemuinya? bego!” aku mengatai diriku sendiri. Aku bertambah bingung lagi karan harus repot mencari tahu dimana alamat gadsiku. Kali ini aku merasa bodoh. Aku tambah gelisah dan menyadari keteledoranku. Awalnya aku berfikir gadis itu sama saja dengan gadis lain yang hanya akan aku mamfaatin. Tapi entahlah, kali ini memang terasa beda. Lebih dari itu, ada perasaan yang kuat mengganggu pikiranku. Gadis itu seakan meamiliki daya tarik tersendiri yang membuatku semakin ingin menjumpainya. Sifat dan perasaanku bertabrakan, keadaan mungkin sudah berbalik sekian derajat, tapi aku harus mengakui juga, saat ini aku benar-benar merasa telah jatuh hati.

Pada suatu sore Andi salah seorang temanku datang kerumah. Tujuan utamanya tidak lain hanya untuk berbicara tentang cewek-cewek. Seperti biasanya dia selalu membuka percakapan dengan kabar buruknya. Raut mukanya yang masam ditambah lagi dengan gerak-gerik bibirnya yang menguntaikan keluhan-keluhan membuatnya tampak konyol. Hal itu yang membuatku selalu menertawainya. Apalagi selama ini dia terkenal dengan gelar jomblo seumur-umur. Karna memang, setiap gadis yang diincarnya selalu menjauhinya. Tiap kali aku menyindir dan mengatainya bodoh, bego, tolol, ceroboh, tapi untungnya Andi tidak begitu peduli  dengan sindiran-sindiran seperti itu, karna yang dia butuhkan hanya langkah-langkah dan trik yang jitu untuk menaklukkan hati gadis incarannya, walaupun akhirnya akan gagal juga. “hah...sial lagi  bro...! cewenya payah...!’’ katanya dengan menepis jidatnya. Aku hanya menggeleng menahan tawa. “Emangnya kenapa lagi...bukannya kemaren sudah ketemuan sama si Weni?’’ balasku. Andi menghela nafas, “iya itu masalahnya... aku janjian ma si Weni ketemuan di depan Columbia...’’, katanya sambil mengusap wajahnya. Walaupun sudah menebak kegagalannya, namun aku penasaran juga jalan ceritanya. “iya emangnya kenapa...apa ada kendala?’’ Tanyaku penasararan. Dengan kesal Andi melanjutkan  ceritanya ‘’aku kan sudah menunggu dua jam lebih di depan Columbia...tidak lama ada cewek parkir di seberang jalan tak jauh dari tempatku. Aku yakin itu si Weni. Saat ku coba menelpon nomor yang kamu berikan itu,  ku lihat gadis di seberang itu mengangkat Handphonnya, aku bilang padanya kalo aku sudah menunggu di depan Columbia. Tak lama gadis itu menghampiriku...awalnya aku pura-pura tidak memperhatikan kehadirannya karna aku yakin dia akan menegurku. Tapi setiba di depanku dia tidak berhenti...eeehh malah dia jalan terus sampai ke ujung sana. Sialan...Aku sadar...aku orang jelak....’’. katanya mengeluhkan keadaannya. Mendengar ceritanya perutku sakit menahan tawa. “Siapa juga yang bilang kamu cakep...makanya selera jangan terlalu tinggi, cari aja cewek yang sederhana pasti banyak kok!” kataku menimpali. Mendengar sindiranku Andi tampak semakin kesal, namun beberapa saat wajahnya bersinar lagi, “tunggu dulu bro...aku ada satu lagi target...!” Andi terkekeh. Aku tersenyum lagi, “Yea...baguslah...asalkan gadisnya standar pasti bisa...!” kataku memberi masukan. Andi mulai memaparkan, “Itu masalahnya bro...gadisnya cantik juga sih, dia gadis yang paling lama aku incar.” Dengan penuh gairah Andi melanjutkan penjelasannya “enam bulan sudah gadis itu menjadi idamanku, pertama aku menyapanya dia menghindar dan meninggalkanku begitu saja...satu saat aku berjumpa lagi, aku menawarkan jadi pacarnya tapi dia bilang “Aku belum siap pacaran. Ntar kalo aku dah gede baru aku bisa jawab permintaanmu!”. Setelah menunggu sekian lama akhirnya aku ketemu lagi dengannya Aku pikir ini kesempatan baik. Tanpa pikir lagi aku meminta janjinya, tapi dia bilang “Aku emang udah gede, tapi aku belum siap pacaran...ntar kalo aku dah siap, baru aku bisa ngejawab permintaanmu!” Huh setiap kali ada kesempatan selalu saja ada alasannya. Aku jadi kesel. Sudah tujuh kali aku mencoba menawarkan diri jadi pacarnya tapi jawabannya selalu diputer-puter. Gadis itu bner-bner menjengkelkan!” Andi mengeluhkan keadaan yang dialami. Aku yang sejak tadi hanya mendengarkan sambil menahan tawa hanya bisa memberi saran, “Udahlah itu artinya gadisnya tidak suka, cari aja yang laen...aku pasti bantu!” tawarku. Andi menarik nafas panjang, “kalo mau membantu, tolong bantu aku deket dengan gadis yang aku ceritakan tadi...aku tau kamu pasti bisa!” Andi memintaku dengan penuh harap. Aku mencoba menawarkan lagi, “Apa tidak bisa aku carikan yang laen saja...itu si Imah lagi butuh cowo, aku rasa kalian cocok, hehe” kataku sedikit bercanda. Andi tampak manyun, “kamu tega ya, si Imah kan orangnya begitu...diapain apa enaknya...?” keluhnya. Aku tertawa juga mendengar tanggapan Andi. “Yea...mau gimana lagi, kamu kan cocoknya yang seperti itu...udahlah terima aja keadaan!” ledekkku lagi. Andi tampak gusar. Namun tak lama kejengkelannya meredam juga. Dengan sedikit memelas Andi memintaku lagi, “Tolonglah... mungkin kamu lupa...dulu aku pernah minta tolong untuk gadis ini, tapi kamu malah ngasi gadis yang laen, dan akhirnya gagal lagi gagal lagi. tolong untuk yang satu ini... aku sudah terlanjur cinta sejak lama...setelah aku pikir-pikir gadis itu cintaku yang sebenarnya, tolong bantu untuk terkhir kalinya...aku yakin setelah tujuh kali gagal, mungkin yang kedelapan kalinya berhasil dengan bantuanmu bro”, Andi memintaku dengan penuh harap. Melihat keseriusan Andi, aku berfikir sejenak  dan tak lama aku pun mengangguk dan menerima permintaannya untuk membantu ngelobi gadis idamannya. “Baiklah, tar aku coba hubungi gadismu...!” kataku menyanggupi. Andi tersenyum puas, terkekeh dengan girangnya, “Tapi janji ya jangan sampai suka padanya, sebab dia itu cantik hehe...” katanya mengingatkan. Aku tersenyum dan meyakinkannya, “jangan kuatir...emangnya aku pernah makan temen...” kataku dengan pasti.

Pagi minggu yang cerah, secangkir kopi hangat menemaniku menikmati hangatnya sinar mentari. Sejenak pikiranku melayang ke sebuah tempat yang pernah aku kunjungi beberapa waktu lalu. Terlintas lagi bayangan seorang gadis manis. Aku tersenyum, “aku akan mendapatkanmu sayang...” kataku meyakinkan diriku sendiri. Tapi tak lama, aku teringat juga janjiku untuk membantu Andi untuk ngelobi gadisnya, “yeah...moga saja Andi juga dapet pacar yang diidamkan...” kataku lirih berharap bisa membantunya walaupun tidak begitu yakin akan berhasil. Tapi bagaimanapun juga aku harus mencoba membantunya lagi. “yeah moga saja berhasil” kataku lagi setengah berbisik sambil bersiap-siap untuk menemui gadisnya. Tak lama, aku berangkat ke sebuah alamat rumah seorang gadis yang tertera pada selembar kertas yang diberikan Andi. Dalam perjalanan aku membuka lagi lembaran alamat yang sekilas pernah aku lihat, namun kali ini aku melihatnya dlebih teliti agar jangan salah alamat. Sejenak aku tertegun, seakan ada sesuatu yang aneh dalam catatan alamat di tanganku. Aku menjadi ragu, “mungkin ada yang salah pada tulisannya”, pikirku. Kekhawatiran menyelimuti pikiranku, namun setelah berfikir sejenak, aku melanjutkn lagi perjalananku sambil berharap apa yang aku khawatirkan tidak benar terjadi. Akhirnya aku tiba di alamat yang aku tuju, dengan sopan aku memberi salam dan mengetuk pintu. Sesaat timbul lagi keraguanku, otak kecilku dipenuhi andaian-andaian, aku mendesis lirih, “huh...semoga saja bukan dia...”. Keraguan dihatiku semakin menjadi ketika sayup-sayup terdengar langkah kaki menghampiri pintu. Suara putaran kunci membuatku merasa seharusnya tidak berada di tempat itu. “Walekomsalim...!” suara dari  balik pintu yang terbuka membuat jantungku kian berdetak. “Cari siapa nak...?” seorang ibu menyapaku dengan tersenyum ramah. Dengan penuh keraaguan aku menjawab “Saya mencari Nela bu...apa bener alamatnya disni...?”. Sang ibu tersenyum lagi, “Ooo...Nela ada kok...mari silahkan masuk!” Ibu itu menawarkan. Setelah dipersilahkan aku pun masuk dan duduk di sebuah sopa. Selang beberapa menit seorang gadis dengan senyum manis menghampiriku. Gadis itu menghentikan langkahnya, dia berdiri beberapa langkah di depanku. Senyum manisnya mengembang, tatapan matanya bersinar, raut wajahnya seakan menyimpan sebuah kerinduan yang dalam. Aku tertegun beberapa saat, aliran darahku melonjak, jantungku berdegup kencang.  “Oh Tuhan...” keraguanku terpecahkan, semua yang aku khawatirkan malah benar-benar terjadi. Dalam goncangan jiwa dan kebingingan aku membalas senyum gadis di depanku. Ternyata dia gadis yang pernah aku temani di sebuah Rumah Kesehatan dua minggu lalu, gadis yang pernah aku beri harapan, gadis yang menghantui pikiranku akhir-akhir ini. Tanpa ada kata-kata sapaan, gadis itu berhamburan kearahku, mendekap erat tubuhku, dan sesaat membenamkan wajahnya untuk melepaskan segala kerinduannya selama ini. Betapa senangnya hatiku, akhirnya aku dapat menebus semua khayalanku. Namun sesaat aku tertegun, rasa cemas menyerbu di benakku. Aku merasa seakan ada yang salah. Aku membalas dekapan antara perasaan senang dan cemas. Tak lama aku melepaskan pelukannya, dia menatapku lekat, senyum manisnya seakan mengisaratkan kepuasan hati. Aku menatapnya juga, perasan senang bercampur rasa tak enak merasuki alam pikiranku. “Apa yang terjadi....? Apa arti dari semua ini....? Apa ada yang salah dalam diriku...?” Apa aku benar-benar menemuinya untuk menepati janjiku...? Ataukah aku menemuinya untuk diriku atau untuk sahabatku Andi...? pertanyaan-pertanyaan timbul dalam diriku. Entahlah, aku menjadi semakin bingung. Memang aku kesini menemui gadis itu sebagai utusan sahabatku, tapi ternyata tujuanku pada gadis yang sama, gadis yang juga aku harapkan. Sejenak ku coba untuk menenangkan pikiran. Tampak Nela tersenyum penuh kebahagiaan. “kakak knapa baru sekarang kesini...?” Nela mulai memecah kebisuan. Aku yang beberapa saat hanya diam, tersenyum juga mendengar sapaan itu. “Aku baru sekarang ada waktu...oya bagaimana kabarmu?”. aku mencoba menanggapinya. “Apa kakak tau selama ini aku selalu menunggu kehadiran kakak.... aku selalu berharap janji kakak untuk menemuiku bener-bener ditepati.”  Nela berbicara sambil terus memandangiku. Kata-katanya terdengar begitu manja, namun hal ini malah membuatku menjadi tambah bingung. “Apa aku harus menjadi diriku atau untuk temanku?” pikiran itu menggangguku lagi. Setelah sekian kali aku pertimbangkan, aku mencoba untuk mengambil keputusan untuk mengikuti keadaan saat ini. Ini gadis yang mengharapkanku, begitu juga denganku yang sudah mulai sayang padanya. “mungkinkah aku mengatakan tujuanku yang sebenarnya...?”. Pikiranku semakin kacau. Tapi anehnya, semakin lama aku pikirkan, ada perasaan lain yang timbul dalam benakku, rasa tak rela kehilangan. “Jika aku utamakan temanku, lalu bagaimana denganku, bagaimana dengan gadis ini, apa dia bisa menerima?” aku berfikir dengan bijak. Aku tak mungkin menghancurkan harapan gadis yang ku sayangi hanya untuk melemparkannya pada temanku  yang aku rasa juga tak pantas untuk mendapatkannya. Dengan peraasaan berat, akhirnya aku memutuskan untuk menemani gadis ini untuk diriku. Tentang hal ini aku akan  menceritakan yang terjadi pada Andi sahabatku. “Kak, kok ngelamun sih, emang mikirin apa...?” Nela menegurku dengan sedikit bertingkah. Aku tersadar dan tersenyum menatap gadis manisku yang tampak semakin manja. Dalam hati kecilku, aku memantapkan diri, “Inilah aku, inilah gadisku, aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan gadisku, tak ku relakan gadisku untuknya ”.

            Pagi hari sayup-sayup terdengar suara memanggil-manggil namaku. Alam bawah sadarku berontak ketika tubuhku terasa digoyang-goyangkan. Dengan sedikit berat aku coba membuka mata. Tubuhku masih terasa ngantuk setelah semalam suntuk tidak bisa tidur dengan berbagai pikiran tentang gadis yang menambatkan cintanya kepadaku dan juga tentang sahabatku Andi yang sudah sejak lama mengidamkan gadis itu. Samar-samar ku lihat Andi tampak terseyum sambil menyapaku, “udah pukul sembilan nih...bangun dong. enak sekali tidurnya sampai seginian belum bangun-bangun...!”. Seketika aku terkesiap, rasa ngantukku hilang seketika, pikiranku bertambah kacau setelah benar-benar sadar Andi ada didekatku. Aku melongo, aku tak pernah merasa setolol ini, namun aku berusaha menyambutnya dengan senyum walaupun hatiku masih diguncangkan dengan keberadaannya saat ini.  “Hmmm...iya nih aku tidurnya larut...!” jawabku singkat. Dengan cengingiran Andi menggodaku, “emangnya tadi malem ngapain...atau jangan-jangan mikirin cewe lagi...’’. Aku tidak langsung menanggapinya, pikiranku terasa begitu berat. Aku tau kedatangannya hendak menanyakan tenatang gadis itu. Namun aku mesti meyakinkan diriku sekali lagi untuk menjelaskan apa yang terjadi dan siapa sebenarnya gadis yang diincarnya. Dengan segera aku melepas selimut dan bangkit dari tempat tidurku. “tunggu bentar, ada yang ingin aku omongin...” kataku sambil meninggalkan Andi yang masih cengar cengir di tepi tempat tidurku. Aku melangkah ke kamar mandi. Dengan perlahan guyuran air segera mengalir di sekujur tubuhku. Kesegarannya begitu terasa, sehingga menghilangkan rasa ngantukku, tapi kesegaran air itu tidak bisa menghilangkan beban pikiranku. Ku biaran saja air mengalir menembus pori-poriku. Aku tertegun disela-sela semburan air  mengingat apa yang sedang aku hadapi saat ini. “yeah apa boleh buat, aku mesti menjelaskan Andi tentang Nela, biar ada kesalahfahaman” pikirku dalam hati. Sayup-sayup terdengar suara bel berbunyi, tapi aku santai saja menikmati lamunanku disela-sela percikan air. Selang beberapa menit, “Tok tok tok” ketukan pintu di kamar mandi membuyarkan lamunanku, “siapa...?” tanyaku ragu. “Hehe terima kasih sob, ternyata kamu bener-bener berhasil membantuku. Hehe gadis ku datang untukku.” Dengan girang Andi terkekeh meninggalkanku yang penuh keheranan. “siapa...gadis yang mana....Andi....Andi...” panggilku semakin heran. Aku mencoba menebak apa yang terjadi. seketika pikiranku tertuju pada gadis itu. Iya Nela, kemaren dia bilang ingin kesini menemuiku. “Ah sialan...” umapatku. Dengan tergesa-gesa aku menyelesaikan mandiku dan terburu-buru menuju ruang tamu. Setiba disana bagai di sambar petir, aku hampir terlonjak terkejut sejadinya ketika kutemukan Nela berdiri tak jauh di depanku. Bola matanya yang bening menahan tetesan air mata. Nela menatapku tajam seakan ada kekesalan dan kekecewaan bersarang di tatapannya. Hatiku berguncang, pikiranku bekerja keras mencari tahu apa yang telah terjadi dalam beberapa saat ini. Keadaan menjadi sedikit tegang. Sekilas aku mengalihkan pandangan ku ke arah Andi mencari tahu jawaban dari semua yang ku saksikan saat ini, namun Andi yang dari tadi mematung berbalik menatapku tajam. “kamu menghianatiku...!” katanya singkat. Mendengar jawaban itu hatiku kian memanas. Ada kesalah fahaman terjadi dalam waktu sesingkat itu. Aku yakin Andi menjelaskan sesuatu pada gadis itu hingga membuatnya menjadi seperti ini. Aliran darah ku mengalir dahsyat. Kejengkelan dan kemarahan menyelimuti jiwaku. “aku kan sudah bilang, tunggu aku, aku akan jelasin semuanya...tapi kenapa kamu begitu ceroboh!” kataku pada Andi dengan nada sedikit tinggi. Sesaat ku tertegun lagi ketika Nela tanpa kata-kata bergegas meninggalkan tempat itu dengan terisak. Tanpa pikir lagi aku menyusul dan menarik tangannya, “tunggu dulu sayang, dengarkan aku dulu...ini salah faham, tapi biarkan aku jelasin semuanya...” kataku sambil mencoba menahannya, namun gadis itu terus meronta melepaskan genggaman tanganku dan berlari meninggalkanku dengan isak tangisnya. Seketika hatiku terasa kacau, kemarahan ku tak bisa tertahan lagi. aku menghampiri Andi yang sempat menyaksikan semua kejadian itu. “Apa yang kamu katakan pada Nela?” tanyaku ketus. Andi yang tampak bingung juga menjelaskan, “tadi aku cuma bilang, aku mengutus kamu menemuinya beberapa hari, aku menitip salam rindu buatnya, karna itu aku pikir dia menerima cintaku dan datang menemuiku...” sejenak Andi terdiam lalu melanjutkan lagi, “aku juga bingung kenapa tiba-tiba gadis itu terdiam lalu menangis...” jelasnya. “apa Nela bilang sesuatu?” tanyaku lagi. Andi terdiam sesaat tampak memikirkan sesuatu. “Iya...tadi dia sempat bilang...aku kira Aden bener-bener menemuiku untuk memenuhi janjinya, tapi ternyata...dia menemuiku untuk orang lain...katanya sambil menangis.” Jelas Andi. “sebenarnya itu yang ingin aku jelaskan padamu, tapi apa yang terjadi...kamu tidak menunggu penjelasan ku dulu, kamu begitu ceeroboh. gadis yang kamu inginkan itu gadis yang beberapa waktu lalu aku kencani. Tapi sudahlah aku tidak punya banyak waktu menjelaskannya saat ini” jelasku. Andi tertegun mendengar penjelasan singkatku. Dengan segera aku mengenakan pakaian dan meninggalkan Andi yang masih terpaku dalam kebingungan. Dalam hati kecilku, aku menyadari semua kekeliruan ini, ada rasa kasihan pada Andi sahabatku yang begitu berharap cintanya terbalas. Tapi sayang, cintanya tertaut pada gadis yang sama, gadis yang aku cintai.

            Matahari pagi tampak kian tinggi, sinarnya sudah mulai terasa panas. Aku berlari-lari kecil melintasi jalan yang masih belum beraspal. Tapi tentu bukan untuk lari pagi karna waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih. Sekitar lima belas menit sejak kejadian tadi membuatku masih berharap dapat menjumpai Nela yang baru saja meninggalkanku tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan semua yang terjadi. Pandangan ku jauh ke depan, namun sosok seorang gadis tak tampak juga di pandanganku. Hanya beberapa orang saja di samping jalan menyapa, “Ehem...tumben lari ampe sginian...mimpi apa tadi...”. Aku hanya tersenyum menanggapi sapaan itu dan terus melanjutkan menempuh jalan bertanah hingga akhirnya aku tiba juga di depan sebuah rumah yang kemaren aku kunjungi. Aku menghentikan langkahku, “sial, cepet sekali dia nyampe rumah...” kataku pelan. Aku mengatur nafas yang masih sedikit tersengal-sengal. Tidak lama seorang ibu keluar dari pintu depan dengan senyum ramahnya. Aku tersenyum juga dan menghampirinya. “maaf bu, Nelanya ada...?” tanyaku. Dengan ramah ibu itu menjawab, “bukannya tadi Nela ke rumahmu...emangnya ada apa?’’ ibu itu balik bertanya. Aku berfikir sejenak. “kemana gadis itu...” pikirku dalam hati. Aku bingung harus mengatakan apa pada ibu Nela yang seakan menunggu penjelasan dariku. “Entahlah bu, tadi Nela kesana, tapi rupanya ada kesalahfahaman trus dianya ngambek dan pergi begitu saja...aku menyusulnya, tapi di jalan juga tidak ketemu...” jelasku. Sang ibu bukannya marah tapi malah tersenyum simpul. Gelagat sang ibu membuatku sedikit curiga. Tanpa sengaja aku melihat ke arah jendela. Tirainya sedikit tergeser, aku menjadi tambah yakin Nela ada di sana. “mungkin saja Nela tidak ingin bertemu saat ini,” pikirku. “Baliklah kalau begitu, aku pamit bu...” kataku meminta diri.  Sang ibu mengangguk. Aku melangkah membalikkan tubuhku dengan kecewa. Kegundahan mengiringi langkah-langkahku meninggalkan pekarangan rumahnya. Semua yang terjadi hari ini terasa begitu cepat.  Hati kecilku belum bisa menerima semua itu, “aku akan menjelaskan semuanya” janjiku dalam hati. Aku melangkah semakin jauh meninggalkan rumah Nela. Pikiranku benar-benar kacau. Namun tak lama, “Kak...” suara lirih terdengar jelas di telingaku. Aku membalikkan tubuhku. Tampak seorang gadis berdiri di belakangku.  Wajah ayu yang selama ini membayangiku, yang selalu membuatku tersenyum seorang diri, yang telah membuatku mengakui diriku benar-benar telah mencintai seorang gadis, kini wajah itu berada di depanku. Aku mendekatinya, bersamaan dengan itu Nela berhamburan kearahku, memelukku, mendekap erat ditubuhku, dan menumpahkan bendungan air mata di pundakku. Kali ini aku benar-benar membalas pelukannya. Aku membelainya dengan penuh sayang. Nela tersedu, disela-sela isak tangisnya dia memaki, “kakak jahat...kakak bohong...kakak telah membuatku menangis...” kata-kata Nela membuatku semakin luluh. Aku memeluknya semakin erat,  tangisnya semakin menjadi. Sesaat ku lepaskan pelukannya, aku memandangi dan mengecup keningnya dengan rasa sayang. “maafkan semua yang telah terjadi...semua itu salah faham, tapi yang mesti kamu tahu...perasaanku lebih dari apa yang kamu rasakan selama ini...”. Aku meyakinkan Nela sambil sesekali mengusap air yang menetes di pipinya. “aku janji mulai saat ini...aku akan benar-benar menjagamu...aku takkan rela siapa saja mendekatimu...”. Nela mengangguk, bibir manisnya mulai mekar menyumbangkan sebuah senyum manis seperti sedianya.






Saturday, December 12, 2015

BUKAN CINTA TERLARANG


GADIS DI BALIK DINDING


Kedai Kopi Laris adalah sebuah kedai kopi milik Ibu Ayu salah seorang warga Desa Peringga. Sesuai dengan namanya setiap hari kedai kopi itu tidak pernah sepi di kunjungi para pelanggan baik para tukang ojek maupun orang-orang yang kebetulan mampir saat melewati kawasan itu. Pagi harinya Ibu Ayu melayani para pelanggan seorang diri. Walaupun banyak pelanggan namun Ibu Ayu dapat menjamu mereka dengan baik. Lain halnya pada siang hari, Ibu Ayu dibantu oleh Rita salah seorang keponakannya yang setiap pulang sekolah meluangkan waktunya untuk membantu bibinya. Dua tahun sudah Rita bekerja di kedai itu semenjak dia masuk Madrasah Aliyah. Bibinya yang memintanya kerja disana untuk membantu menyiapkan pesanan agar bisa mendapatkan uang saku tambahan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya. Ayah Rita sendiri Pak Rudi pekerja bengkel motor yang penghasilannya tergantung dari banyak tidaknya pengunjung yang memperbaiki motornya. Untuk itu sang ayah tidak melarang putrinya untuk mencari uang tambahan, toh juga putrinya bisa belajar untuk mencari penghasilan. Sambil belajar berjualan Rita membantu meringankan pekerjaan bibinya di kedai kopi.

Dua bulan yang lalu adalah awal pertemuan Adit pemuda kampung sebelah dengan Rita gadis pelayan kedai kopi. Mulanya Adit yang kebetulan lewat di depan sebuah kedai kopi milik Ibu Ayu mampir untuk sekedar menyita waktu. Tampak olehnya seorang gadis gemulai sedang sibuk menyajikan makanan ringan buat orang-orang yang berjejer di bangku pesanan. Sejenak Adit memperhatikannya ternyata gadis itu lumayan manis. Timbul rasa keingintahuan tentang gadis itu dan tanpa pikir lagi Adit segera masuk ke kedai dan memesan segelas kopi. Beberapa saat setelah memesan kopi seorang gadis mengantarkan pesanannya. Dengan ramah gadis itu menyuguhkan dan mempersilakan kopi hangat untuknya. Tidak dapat disangkal lagi, ternyata memang benar senyum ramah gadis itu menawan perhatiannya. Rita seorang gadis yang ramah, juga seorang gadis yang murah senyum, karna sebagai pedagang sudah sepatutnya Rita berpenampilan rapi, sopan dan ramah terhadap para pelanggannya. Tapi  rupa-rupanya pesona gadis itu telah membuat banyak pelanggan bersimpati. Wajar saja semua pelanggan menjadi betah singgah di kedai kopi Laris. Tidak terkecuali Adit, pemuda yang bisa dikatakan lumayan keren, saat pertama kali melihat senyum manis Rita si gadis penjual kopi, saat itu juga dia meresa kerasan berada di kedai itu. Di saat itulah dengan sedikit berbasa basi Adit mulai berkenalan dengan Rita. “Adek yang punya kedai ini ya?’’ Adit mulai menyapa gadis itu. Rita dengan senyum manisnya menjawab “nggak kok, ini punya bibi, aku disini sekedar membantu biar bibi nggak terlalu repot.”, dengan seyum ramah Rita menjelaskan. Adit mengangguk sambil membalas seyum, ”Oya, nama adek Ayu ya... nama yang bagus...manis seperti orangnya!”. Pujian Adit membuat Rita sedikit tertawa “Hehe kakak tu sok tau aja. Kakak pasti tau dari plank di depan itu ya... tapi maaf kakak salah...nama aku Rita, Ayu itu bibi aku!” Rita menjelaskan sambil tersenyum lebar. Lagi-lagi senyum gadis itu membuat Adit semakin terpedaya. Adit yang baru sadar salah memuji dengan tersipu segera meralat perkataannya, “Iya maksud aku Ayu itu nama yang baik, apalagi Rita...itu nama yang lebih baik lagi,” dengan cekatan Adit mengelit. Tak hanya Rita, bibinya dan orang-orang yang ada disana ikut tersenyum juga mendengar perbincangan itu. Suasana kedai kopi semakin ceria. Pemilik kedai maupun para planggannya sudah terbiasa bercanda dan saling mengisahkan. Suasananya begitu akur membuat seisi kedai semakin betah. Waktu pun berlalu, di akhira kebersamaan Adit menawarkan pertemanan dengan Rita. Layaknya seorang gadis yang baik Rita dengan tulus menerima pertemanan itu. Semenjak hari itu setiap sore Adit menyempatkan dirinya untuk mampir di kedai kopi agar selalu dapat melihat senyum manis gadis penjual kopi. Hari demi hari pertemanan mereka semakin akrab. Mereka saling mengenal lebih dalam hingga mereka lebih leluasa bercanda dan bersenda gurau disela-sela kesibukan Rita menyiapkan pesanan para pelanggannya.

Beberapa hari berlalu, bayangan seorang gadis penjual kopi selalu mengambang di setiap lamunannya. Sesekali Adit tersenyum sendiri, pikirannya melayang jauh ke sebuah kedai di kampung sebelah. “Rita” sesekali nama itu  tanpa sadar diucapkan. Betapa tidak, setiap gerak gerik, tutur kata, serta senyum gadis itu seakan memiliki karisma yang kuat. Sungguh daya tariknya membuat Adit gelisah. Setiap orang yang bersamanya pasti merasa nyaman. Adit semakin bimbang. Kekhawatiran timbul di benaknya, ada rasa takut kehilangan merasuki alam pikirannya. Bagaimana jika semua orang tertarik padanya? bagaimana jika suatu saat gadis itu keburu dimiliki orang lain?. Berbagai pertanyaan timbul dibenaknya. Adit berfikir keras, hayalan-hayalan indahnya malah membuatnya semakin memikul beban. Waktu-waktu terasa begitu lambat, ingin rasanya memutar jam tangannya biar lekas berjumpa dengan gadis idamannya. Apa yang dirasakan saat itu benar-benar membuatnya kepayang. Bayangan-bayangan seorang gadis penjual kopi terus memenuhi lamunannya.  Layaknya seorang laki-laki Adit tidak dapat lagi menahan diri untuk mengungkapkan perasaannya pada Rita. Akhirnya jam menunjukkan pukul dua siang, inilah waktu yang sejak tadi ditunggu-tunggu. Dengan persiapan mental dan tekad yang bulat, Adit segera datang ke kedai  seperti biasa, namun kali ini bukan hanya untuk memesan kopi ataupun melihat senyum, tapi juga dengan tekad dan keberanian untuk menyatakan cintanya. Dengan sedikit tegang Adit menunggu saat yang tepat untuk dapat berbicara serius dengan gadis impiannya. Adit pun mendapat peluang yang baik ketika para pelanggan yang lain sudah pada bubar. Dengan sangat berhati-hati Adit mencoba mengutarakan isi hatinya agar jangan sampai Rita merasa tidak enak atau malah menjauh dan menghindarinya. Dengan tekad mantap Adit mulai menghampiri Rita dan dengan tatapan penuh perhatian mencoba membuka perkataannya,”Dek...apa aku bisa ngomong sesuatu...?” Adit dengan suara lirih menarik perhatian Rita. Rita yang sejak tadi juga sempat memperhatikan sikap Adit yang sedikit berbeda membuatnya sedikit curiga. “Kakak mau ngomong apa kak...kok serius amat?”. Rita menatap Adit dan Adit pun membalas tatapannya dengan lekat. Dengan segala keberanian bibir tipisnya mulai bergerak,”Sebelumnya maafkan aku jika apa yang aku katakan membuatmu tersinggung...” sejenak Adit menarik nafas dalam lalu melanjutkan lagi kata-katanya “....sungguh selama ini aku benar-benar telah jatuh cinta. Aku tak bisa lagi menyembunyikan perasaanku selama ini. Maafkan jika aku mencintaimu...!”.  Sesaat setelah Adit mengungkapkan isi hatinya, ada sedikit kebingungan diwajah Rita. Rita jadi serba salah. Sejenak dia terdiam sambil menundukkkan wajah manisnya yang sedikit memerah. Ada  perasaan aneh yang seakan menyerbu merasuki setiap aliran darahnya. Melihat keadaan Rita yang sempat kelagapan, Adit mencoba menetralkan keadaan, ‘’maaf jika kata-kata ku tadi telah menyinggung perasaanmu, aku tidak bermaksud membuatmu merasa bimbang, tapi ketahuilah semua yang aku katakan itu adalah isi hatiku yang sebenarnya,,,!’’, Adit menegaskan lagi. Tanpa disangka Rita yang sempat terpaku mengangkat wajahnya yang tadi sempat menunduk sembari berucap dengan lirih, ‘’tidak apa kak....aku cuma sedikit ragu dengan perasaanku sendiri....mungkin aku juga suka...’’. Mendengar jawaban dari bibir tipis gadis manis di depannya, betapa lega hati Adit. Beban peresaan yang selama ini dipendam akhirnya terlepas juga. Walaupun jawaban itu belum sempurna, namun seyum tipis Rita meyakinkannya bahwa mereka memiliki perasaan yang sama. Saking girangnya ingin rasanya saat itu memeluk erat gadis di depannya untuk melepas kerinduan yang terpendam selama selama ini. Sementara Ibu Ayu sang pemilik kedai yang sesekali memperhatikan kedua remaja itu cuma bisa menghela nafas dan menggelengkan kepala sambil melanjutkan pekerjaannya.

Semenjak saat itu, perasaan cinta dan kasih asmara mereka semakin menjadi. Keceriaan jelas tergambar di wajah dan setiap canda tawa mereka. Hari demi hari mereka semakin romantis. Tanpa mereka sadari hal itu menjadi sorotan para pelanggan kedai kopi yang lain. Kedekatan hubungan mereka tersiar juga. Akan hal itu, bibinya tidak terlalu ikut campur dalam urusan hubungan mereka. Baginya semua itu wajar saja selama itu tidak melanggar aturan dan etika. Namun hal itu justru berdampak negatif terhadap beberapa pelanggan kopi yang  selama ini juga menaruh hati terhadap Rita si gadis penjual kopi. Tampak jelas kecemburuan dari mimik dan tingkah laku mereka yang sesekali melontarkan sindiran-sindiran halus, namun tentu saja semua itu  membuat suasana tidak nyaman. Adit yang sadar akan hal itu memberi isyarat agar Rita tidak terlalu mempedulikan akan ketidaksenangan orang-orang tentang hubungan akrabnya, karna mungkin saja semua itu adalah sebuah ujian baginya. Sementara Rita yang selalu ramah melayani pesanan para pelanggannya merasa sedikit tertekan juga karna tahu sebagian para pelanggannya tidak menyukai kehadiran Adit sang pacar yang selama ini setia membagi waktu menemani hari-harinya. Rita mencoba untuk tidak terlalu peduli terhadap situasi yang seperti ini. Dia dengan sabar dan tetap ramah menjamu pelanggan.

Semakin hari situasi di kedai kopi semakin kacau, terlebih lagi Hamid salah seorang dari pelanggan kedai yang merasa patah hati karna sikap Rita yang hanya memberi perhatian lebih kepada Adit membuatnya semakin kecewa. Berbagai cara dilakukan untuk menghalangi hubungan Rita dan Adit tidak membuahkan hasil, akhirnya dia berniat untuk mengadu hubungan dekat Rita dengan Adit kepada sang ayah. Hanya dengan jalan itulah dia dapat membalas sakit hatinya. Setelah merancang sebuah rencana, Hamid menemui ayah Rita yang saat itu bekerja di sebuah bengkel motor. Dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun Hamid mulai menjelaskan tentang hubungan erat putrinya di kedai Laris. Cerita-cerita yang di karang-karang begitu berlebihan, dan tentu saja bualan itu membuat Pak Rudi marah dan naik pitam. Apalagi Pak Rudi yang sebagai pekerja bengkel itu terkenal sebagai seorang yang sensitif dan mudah tersinggung. Mendengar cerita tentang ketidakwajaran hubungan putrinya dengan salah seorang pemuda pelanggan di kedai itu membuatnya semakin gusar.

Sore hari menjelang senja Rita pulang setelah membantu bibinya di kedai. Setibanya di rumah Rita mendapatkan ayahnya yang sejak tadi menuggunya. “Rita...kemari!” panggil ayahnya dengan nada sedikit tinggi. Rita yang baru saja hendak mengucapkan salam sempat terkejut mendengar  ucapan ayahnya. Tak biasanya ayahnya memanggilnya seperti itu. Dengan sedikit heran Rita menghampiri ayahnya, “Iya yah...ada apa...?” Rita dengan suara lirih memandangi ayahnya dengan penuh tanda tanya. Dengan ketus ayahnya bertanya lagi, “Ayah dengar kamu setiap hari bukannya membantu bibimu di kedai melainkan berpacaran sama anak tuh...siapa namanya?” ayahnya mengintrogasi. “bukan begitu ayah...aku selalu membantu bibi...ayah bisa tanyakan langsung sama bibi...” belum habis Rita menjelaskan, Ayahnya langsung menyambutnya “Alaaah kamu anak masih kecil mau membodohi ayahmu....kamu pikir ayah tidak tahu semua yang kamu lakukan setiap hari ?” ayahnya sedikit membentak membuat Rita tersedu mengucurkan air matanya. “maaf ayah...semua yang ayah tuduhkan tidak benar ayah...emangnya siapa yang memberi tahu seperti itu...percayalah ayah, aku memang dekat dengan Adit...tapi hubungan kami biasa saja...”. sambil terisak Rita mencoba membela diri. “Sudahlah! Ayah tak mau mendengar penjelasan lagi. Sekarang kamu masuk dan mulai hari besok tidak perlu kerja lagi!” ayahnya kembali menegaskan kalimatnya. Mendengar hentakan tersebut Rita cuma bisa menangis dan bergegas masuk kamar tidurnya.

Keesokan harinya, sepulang sekolah Rita tak langsung pulang kerumah melainkan ke kedai bibinya. Dengan sedih gadis itu menceritakan kejadian yang dialamianya kemarin kepada bibinya. Dia merasa semua itu mungkin ulah dari orang-orang yang tak senang melihat keceriaannya bersama Adit. Mendengar perihal keponakannya bibi Ayu merasa perihatin juga, namun apa boleh dikata dia cuma bisa  memberi saran dan solusi namun tak dapat berbuat banyak karna dia sendiri tahu siapa ayah Rita. Tak lama berselang seorang pemuda tampan datang menghampiri dengan senyum khasnya. Dialah Adit seorang yang membuat luluh hati gadis pelayan kedai. Sesaat Adit menatap wajah gadisnya. Melihat keadaan Rita seperti itu Adit mengerutkan alisnya sedikit heran. Pandangan mereka berpacu, tanpa terasa butiran-butiran halus menetes di wajah gadisnya. Seketika Adit merasa terenyuh, seakan tak sanggup melihat tetesan bening melintasi wajah ayu gadis didepannya. Tanpa diminta jemari-jemari tangan Adit mengusap butiran air di pipi Rita yang membuat Rita semakin tersedu. Dengan terharu Adit menanyakan peri hal yang membuat gadisnya menangis tersedu, “ada apa sayang...apa yang terjadi...apa yang membuatmu menjadi seperti ini... ceritakanlah sayang...” dengan penuh perhatian Adit mencoba menenangkan Rita. Rita pun menceritakan juga apa yang dialami hingga membuatnya menjadi seperti ini. Dengan perasaan luluh dan iba Adit mendengarkan ceritanya.  “huh...” adit menghela nafas. Tampak kepiluan merayapi wajahnya. Rasa iba terhadap gadisnya bercampur kekesalan terhadap orang-orang yang mengacaukan keadaan membuat Adit semakin jengkel. Adit mencoba meyainkan Rita, “tenanglah sayang, jangan terlalu dipikirkan. Biar aku yang akan menjelaskan semuanya pada ayah. Aku berjanji semuanya akan baik-baik saja!”. Belum lagi Adit menambahkan kata-katanya, seseorang dengan tubuh tegap datang menghampiri mereka. Tak ayal lagi, hentakan tangan menggelepar di atas meja bersamaan dengan suara  sang ayah membuat beberapa pelanggan kopi terkejut, terutama Rita yang sempat terperanjat melihat ayahnya sudah berada di depannya. ‘’Hei kamu,,, apa tempat ini buat ajang pacaran! Kalo mau pacaran sana ditempat laen! Cari gadis laen!’’. Kata-kata itu bagai petir membuat Adit ternganga karna baru sadar semua itu ditujukan kepadanya. Seketika Adit menyadari bahwa lelaki tegar di depannya adalah ayah Rita. Dengan memberanikan diri Adit bangkit untuk sekedar berbicara namun dengan wajah penuh murka sang ayah mengisyaratkan agar siapapun tidak ikut campur urusannya termasuk Adit. Setelah cukup menumpahkan kemarahannya sang ayah menarik lengan anaknya untuk dibawa pulang. Dengan terisak Rita meronta namun karna terasa percuma juga akhirnya dia menurut saja. Sementara Adit sempat ingin menjelaskan semua tentang apa yang sebenarnya terjadi namun sang ayah terlebih dahulu menunjuk kearahnya sembari berkata, ‘’kamu tak tau diri, ingat kata-kataku jangan pernah muncul lagi dihadapanku!’’. Setelah berkata begitu sang ayah pun berlalu. Adit dengan prasaan hancur luluh cuma bisa memandangi sang kekasih yang sesekali menoleh kearahnya. Orang-orang yang melihat kejadian itu juga terharu dan merasa iba, namun mereka tidak dapat berbuat banyak karena mereka tau orang tua Rita adalah orang yang berwatak keras, kalau tidak pandai mengambil posisi bisa jadi salah sasaran.

Sejak kejadian itu suasana di kedai Laris sedikit berubah. Beberapa pelanggan yang biasanya tiap sore berlama-lama di tempat itu kini hanya mampir untuk beberapa saat saja.   Mereka seakan kehilangan sesuatu yang berharga, karna biasanya pada saat seperti itu mereka saling berbagi canda tawa serta mendapat sambutan dan sapaan manis dari gadis ramah dan baik hati. Terlebih lagi Adit yang sejak saat itu selalu sedih dan gundah. Dalam hati kecilnya merasa kehilangan separuh jiwanya. Cintanya yang baru bersemi kandas begitu saja. Batinnya tak tenang, “...aku tak boleh berdiam diri...” desis lirih terlontar dari bibirnya. Dengan terus berharap Adit selalu menanyakan pada Ibu Ayu tentang gadisnya, namun tak pernah mendapatkan jawaban yang yang diharapkan. Entah karna takut atau tertekan Ibu Ayu seakan menanggapinya dengan setengah hati. Namun Adit tak putus asa, “tolonglah bu...kabari aku keadaan Rita...dia baik-baik saja kan bu? tolong bantu aku menemuinya bu...’’. Mendengar pertanyaan yang sudah beberapa kali didengar dari Adit membuat Ibu Ayu sedikit bosan juga walaupun sebenarnya dia merasa perihatin melihat keadaan Adit dan keponakannya. Dalam hatinya Ibu Ayu mengakui keduanya tidak bersalah, hanya karna sebuah fitnah membuat mereka terpisah.  Namun dalam hal ini Ibu Ayu tidak menampakkan keperihatinannya kepada Adit karna akan membuat Adit berharap dan meminta pertolongannya lagi. Hal itu tentu saja akan menjadi boomerang baginya karna dia tau berurusan dengan Pak Rudi yang sekalipun saudaranya sendiri hanya akan membuatnya berantakan. Setelah menyajikan pesanan, Ibu Ayu menghampiri Adit yang sejak tadi gelisah menunggu kabar gadisnya. “Ibu sudah bilang...Rita baik-baik saja...tapi cuma itu yang bisa ibu katakan.  Tapi tolong jangan minta ibu untuk mempertemukan kalian, kamu tau sendiri ayahnya seperti apa...jika dia tahu aku ikut campur urusan ini, bisa-bisa ibu tidak dapat berjualan dikedai ini lagi. tapi kalau kamu benar-benar ingin melihatnya sebaiknya kamu datang sendiri kerumahnya...!”. Adit mendengarkan kata-kata Ibu Ayu. Setelah berfikir sejenak Adit pun menganggukkan kepalanya. Ada sepercik harapan timbul dalam hatinya. “iya bu...mungkin sebaiknya aku sendiri yang menemuinya...tapi alamatnya bu...?”. Adit mengusap wajahnya yang tampak memikul beban yang sangat berat. Dia meresapi kata-kata Ibu Ayu yang menurutnya ada benarnya juga. Setelah mendapatkan alamat dari Ibu Ayu, Adit meyakinkan dirinya untuk menjumpai sang kekasih.

Dengan peresaan senang haru bercampur cemas dan sebagainya, Adit melangkahkan kakinya menuju sebuah alamat. Setibanya disana, pucuk dicinta ulam pun tak tiba. Harapan bertemu sang buah hati malah bertemu rintangan. Sang ayah yang lagi sibuk dengan peralatannya begitu melihat kehadiran Adit seketika bangkit dan menghampiri Adit, ‘’Ada apa kamu lagi, apa kurang jelas apa yang aku katakan kemaren?’’. kata ayah Rita dengan tegas. Adit mencoba berbicara ‘’sebelumnya aku minta maaf pak, mungkin aku pernah salah, tapi aku rasa hubungan ku dengan Rita biasa saja, kami tidak pernah melakukan hal-hal yang melanggar aturan, kami,,,’’ belum sempat Adit meneruskan kata-katanya, ayah Rita menyambutnya dengan lantang, ‘’Aaalaaaah,,, enak aja kamu bilang hubungan hubungan hubungan,,,siapa yang ijinin kamu berhubungan? Cepat pergi dari sini dan jangan pernah berani kembali kesini lagi, aku hajar kamu nanti!’’. Hentakan sang ayah bersambutan dengan teriakan seorang gadis dari bilik kamar yang terkunci. Rita yang ternyata sejak tadi ikut mendengarkan perseteruan ayahnya dengan sang kekasih tak kuasa lagi menahan diri, ‘’Adiiiiit....!’’ teriakan Rita mengiringi jerit tangis yang tak terbendung. Adit tak bisa berbuat apa-apa setelah diusir begitu saja, dengan perasaan hancur kecewa dia berlalu sambil sesekali menengok ke arah datangnya suara yang memanggil namanya. Yeah di sanalah, di balik dinding kamar itu Rita terkulai terisak merapat di balik dinding yang kokoh.


Dear.Gadis di Balik Dinding
by.Mahkote Saksake