GADIS DI BALIK DINDING
Kedai
Kopi Laris adalah sebuah kedai kopi
milik Ibu Ayu salah seorang warga Desa Peringga. Sesuai dengan namanya setiap
hari kedai kopi itu tidak pernah sepi di kunjungi para pelanggan baik para
tukang ojek maupun orang-orang yang kebetulan mampir saat melewati kawasan itu.
Pagi harinya Ibu Ayu melayani para pelanggan seorang diri. Walaupun banyak pelanggan namun Ibu Ayu dapat menjamu mereka dengan baik. Lain halnya pada siang
hari, Ibu Ayu dibantu oleh Rita salah seorang keponakannya yang setiap pulang
sekolah meluangkan waktunya untuk membantu bibinya. Dua tahun sudah Rita
bekerja di kedai itu semenjak dia masuk Madrasah Aliyah. Bibinya yang
memintanya kerja disana untuk membantu menyiapkan pesanan agar bisa mendapatkan
uang saku tambahan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya. Ayah Rita sendiri Pak
Rudi pekerja bengkel motor yang penghasilannya tergantung dari banyak tidaknya
pengunjung yang memperbaiki motornya. Untuk itu sang ayah tidak melarang
putrinya untuk mencari uang tambahan, toh juga putrinya bisa belajar untuk
mencari penghasilan. Sambil belajar berjualan Rita membantu meringankan
pekerjaan bibinya di kedai kopi.
Dua
bulan yang lalu adalah awal pertemuan Adit pemuda kampung sebelah dengan Rita
gadis pelayan kedai kopi. Mulanya Adit yang kebetulan lewat di depan sebuah kedai
kopi milik Ibu Ayu mampir untuk sekedar menyita waktu. Tampak olehnya seorang
gadis gemulai sedang sibuk menyajikan makanan ringan buat orang-orang yang
berjejer di bangku pesanan. Sejenak Adit memperhatikannya ternyata gadis itu
lumayan manis. Timbul rasa keingintahuan tentang gadis itu dan tanpa pikir lagi
Adit segera masuk ke kedai dan memesan segelas kopi. Beberapa saat setelah
memesan kopi seorang gadis mengantarkan pesanannya. Dengan ramah gadis itu menyuguhkan
dan mempersilakan kopi hangat untuknya. Tidak dapat disangkal lagi, ternyata memang
benar senyum ramah gadis itu menawan perhatiannya. Rita seorang gadis yang
ramah, juga seorang gadis yang murah senyum, karna sebagai pedagang sudah
sepatutnya Rita berpenampilan rapi, sopan dan ramah terhadap para pelanggannya.
Tapi rupa-rupanya pesona gadis itu telah
membuat banyak pelanggan bersimpati. Wajar saja semua pelanggan menjadi betah singgah
di kedai kopi Laris. Tidak terkecuali
Adit, pemuda yang bisa dikatakan lumayan keren, saat pertama kali melihat
senyum manis Rita si gadis penjual kopi, saat itu juga dia meresa kerasan
berada di kedai itu. Di saat itulah dengan sedikit berbasa basi Adit mulai
berkenalan dengan Rita. “Adek yang punya kedai ini ya?’’ Adit mulai menyapa
gadis itu. Rita dengan senyum manisnya menjawab “nggak kok, ini punya bibi, aku
disini sekedar membantu biar bibi nggak terlalu repot.”, dengan seyum ramah Rita
menjelaskan. Adit mengangguk sambil membalas seyum, ”Oya, nama adek Ayu ya...
nama yang bagus...manis seperti orangnya!”. Pujian Adit membuat Rita sedikit
tertawa “Hehe kakak tu sok tau aja. Kakak pasti tau dari plank di depan itu ya...
tapi maaf kakak salah...nama aku Rita, Ayu itu bibi aku!” Rita menjelaskan
sambil tersenyum lebar. Lagi-lagi senyum gadis itu membuat Adit semakin
terpedaya. Adit yang baru sadar salah memuji dengan tersipu segera meralat
perkataannya, “Iya maksud aku Ayu itu nama yang baik, apalagi Rita...itu nama
yang lebih baik lagi,” dengan cekatan Adit mengelit. Tak hanya Rita, bibinya
dan orang-orang yang ada disana ikut tersenyum juga mendengar perbincangan itu.
Suasana kedai kopi semakin ceria. Pemilik kedai maupun para planggannya sudah
terbiasa bercanda dan saling mengisahkan. Suasananya begitu akur membuat seisi
kedai semakin betah. Waktu pun berlalu, di akhira kebersamaan Adit menawarkan
pertemanan dengan Rita. Layaknya seorang gadis yang baik Rita dengan tulus menerima
pertemanan itu. Semenjak hari itu setiap sore Adit menyempatkan dirinya untuk
mampir di kedai kopi agar selalu dapat melihat senyum manis gadis penjual kopi.
Hari demi hari pertemanan mereka semakin akrab. Mereka saling mengenal lebih
dalam hingga mereka lebih leluasa bercanda dan bersenda gurau disela-sela
kesibukan Rita menyiapkan pesanan para pelanggannya.
Beberapa
hari berlalu, bayangan seorang gadis penjual kopi selalu mengambang di setiap
lamunannya. Sesekali Adit tersenyum sendiri, pikirannya melayang jauh ke sebuah
kedai di kampung sebelah. “Rita” sesekali nama itu tanpa sadar diucapkan. Betapa tidak, setiap
gerak gerik, tutur kata, serta senyum gadis itu seakan memiliki karisma yang
kuat. Sungguh daya tariknya membuat Adit gelisah. Setiap orang yang bersamanya
pasti merasa nyaman. Adit semakin bimbang. Kekhawatiran timbul di benaknya, ada
rasa takut kehilangan merasuki alam pikirannya. Bagaimana jika semua orang
tertarik padanya? bagaimana jika suatu saat gadis itu keburu dimiliki orang lain?.
Berbagai pertanyaan timbul dibenaknya. Adit berfikir keras, hayalan-hayalan
indahnya malah membuatnya semakin memikul beban. Waktu-waktu terasa begitu
lambat, ingin rasanya memutar jam tangannya biar lekas berjumpa dengan gadis
idamannya. Apa yang dirasakan saat itu benar-benar membuatnya kepayang.
Bayangan-bayangan seorang gadis penjual kopi terus memenuhi lamunannya. Layaknya seorang laki-laki Adit tidak dapat
lagi menahan diri untuk mengungkapkan perasaannya pada Rita. Akhirnya jam
menunjukkan pukul dua siang, inilah waktu yang sejak tadi ditunggu-tunggu. Dengan
persiapan mental dan tekad yang bulat, Adit segera datang ke kedai seperti biasa, namun kali ini bukan hanya
untuk memesan kopi ataupun melihat senyum, tapi juga dengan tekad dan
keberanian untuk menyatakan cintanya. Dengan sedikit tegang Adit menunggu saat yang
tepat untuk dapat berbicara serius dengan gadis impiannya. Adit pun mendapat
peluang yang baik ketika para pelanggan yang lain sudah pada bubar. Dengan
sangat berhati-hati Adit mencoba mengutarakan isi hatinya agar jangan sampai
Rita merasa tidak enak atau malah menjauh dan menghindarinya. Dengan tekad
mantap Adit mulai menghampiri Rita dan dengan tatapan penuh perhatian mencoba
membuka perkataannya,”Dek...apa aku bisa ngomong sesuatu...?” Adit dengan suara
lirih menarik perhatian Rita. Rita yang sejak tadi juga sempat memperhatikan
sikap Adit yang sedikit berbeda membuatnya sedikit curiga. “Kakak mau ngomong
apa kak...kok serius amat?”. Rita menatap Adit dan Adit pun membalas tatapannya
dengan lekat. Dengan segala keberanian bibir tipisnya mulai
bergerak,”Sebelumnya maafkan aku jika apa yang aku katakan membuatmu tersinggung...”
sejenak Adit menarik nafas dalam lalu melanjutkan lagi kata-katanya
“....sungguh selama ini aku benar-benar telah jatuh cinta. Aku tak bisa lagi
menyembunyikan perasaanku selama ini. Maafkan jika aku mencintaimu...!”. Sesaat setelah Adit mengungkapkan isi hatinya,
ada sedikit kebingungan diwajah Rita. Rita jadi serba salah. Sejenak dia
terdiam sambil menundukkkan wajah manisnya yang sedikit memerah. Ada perasaan aneh yang seakan menyerbu merasuki
setiap aliran darahnya. Melihat keadaan Rita yang sempat kelagapan, Adit
mencoba menetralkan keadaan, ‘’maaf jika kata-kata ku tadi telah menyinggung
perasaanmu, aku tidak bermaksud membuatmu merasa bimbang, tapi ketahuilah semua
yang aku katakan itu adalah isi hatiku yang sebenarnya,,,!’’, Adit menegaskan lagi.
Tanpa disangka Rita yang sempat terpaku mengangkat wajahnya yang tadi sempat
menunduk sembari berucap dengan lirih, ‘’tidak apa kak....aku cuma sedikit ragu
dengan perasaanku sendiri....mungkin aku juga suka...’’. Mendengar jawaban dari
bibir tipis gadis manis di depannya, betapa lega hati Adit. Beban peresaan yang
selama ini dipendam akhirnya terlepas juga. Walaupun jawaban itu belum
sempurna, namun seyum tipis Rita meyakinkannya bahwa mereka memiliki perasaan
yang sama. Saking girangnya ingin rasanya saat itu memeluk erat gadis di
depannya untuk melepas kerinduan yang terpendam selama selama ini. Sementara Ibu
Ayu sang pemilik kedai yang sesekali memperhatikan kedua remaja itu cuma bisa
menghela nafas dan menggelengkan kepala sambil melanjutkan pekerjaannya.
Semenjak
saat itu, perasaan cinta dan kasih asmara mereka semakin menjadi. Keceriaan
jelas tergambar di wajah dan setiap canda tawa mereka. Hari demi hari mereka
semakin romantis. Tanpa mereka sadari hal itu menjadi sorotan para pelanggan
kedai kopi yang lain. Kedekatan hubungan mereka tersiar juga. Akan hal itu,
bibinya tidak terlalu ikut campur dalam urusan hubungan mereka. Baginya semua
itu wajar saja selama itu tidak melanggar aturan dan etika. Namun hal itu justru
berdampak negatif terhadap beberapa pelanggan kopi yang selama ini juga menaruh hati terhadap Rita si gadis
penjual kopi. Tampak jelas kecemburuan dari mimik dan tingkah laku mereka yang
sesekali melontarkan sindiran-sindiran halus, namun tentu saja semua itu membuat suasana tidak nyaman. Adit yang sadar
akan hal itu memberi isyarat agar Rita tidak terlalu mempedulikan akan
ketidaksenangan orang-orang tentang hubungan akrabnya, karna mungkin saja semua
itu adalah sebuah ujian baginya. Sementara Rita yang selalu ramah melayani
pesanan para pelanggannya merasa sedikit tertekan juga karna tahu sebagian para
pelanggannya tidak menyukai kehadiran Adit sang pacar yang selama ini setia
membagi waktu menemani hari-harinya. Rita mencoba untuk tidak terlalu peduli
terhadap situasi yang seperti ini. Dia dengan sabar dan tetap ramah menjamu
pelanggan.
Semakin
hari situasi di kedai kopi semakin kacau, terlebih lagi Hamid salah seorang
dari pelanggan kedai yang merasa patah hati karna sikap Rita yang hanya memberi
perhatian lebih kepada Adit membuatnya semakin kecewa. Berbagai cara dilakukan
untuk menghalangi hubungan Rita dan Adit tidak membuahkan hasil, akhirnya dia
berniat untuk mengadu hubungan dekat Rita dengan Adit kepada sang ayah. Hanya
dengan jalan itulah dia dapat membalas sakit hatinya. Setelah merancang sebuah
rencana, Hamid menemui ayah Rita yang saat itu bekerja di sebuah bengkel motor.
Dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun Hamid mulai menjelaskan tentang hubungan
erat putrinya di kedai Laris. Cerita-cerita
yang di karang-karang begitu berlebihan, dan tentu saja bualan itu membuat Pak
Rudi marah dan naik pitam. Apalagi Pak Rudi yang sebagai pekerja bengkel itu
terkenal sebagai seorang yang sensitif dan mudah tersinggung. Mendengar cerita
tentang ketidakwajaran hubungan putrinya dengan salah seorang pemuda pelanggan
di kedai itu membuatnya semakin gusar.
Sore
hari menjelang senja Rita pulang setelah membantu bibinya di kedai. Setibanya
di rumah Rita mendapatkan ayahnya yang sejak tadi menuggunya. “Rita...kemari!” panggil
ayahnya dengan nada sedikit tinggi. Rita yang baru saja hendak mengucapkan
salam sempat terkejut mendengar ucapan
ayahnya. Tak biasanya ayahnya memanggilnya seperti itu. Dengan sedikit heran
Rita menghampiri ayahnya, “Iya yah...ada apa...?” Rita dengan suara lirih
memandangi ayahnya dengan penuh tanda tanya. Dengan ketus ayahnya bertanya
lagi, “Ayah dengar kamu setiap hari bukannya membantu bibimu di kedai melainkan
berpacaran sama anak tuh...siapa namanya?” ayahnya mengintrogasi. “bukan begitu
ayah...aku selalu membantu bibi...ayah bisa tanyakan langsung sama bibi...” belum
habis Rita menjelaskan, Ayahnya langsung menyambutnya “Alaaah kamu anak masih
kecil mau membodohi ayahmu....kamu pikir ayah tidak tahu semua yang kamu
lakukan setiap hari ?” ayahnya sedikit membentak membuat Rita tersedu
mengucurkan air matanya. “maaf ayah...semua yang ayah tuduhkan tidak benar
ayah...emangnya siapa yang memberi tahu seperti itu...percayalah ayah, aku
memang dekat dengan Adit...tapi hubungan kami biasa saja...”. sambil terisak
Rita mencoba membela diri. “Sudahlah! Ayah tak mau mendengar penjelasan lagi.
Sekarang kamu masuk dan mulai hari besok tidak perlu kerja lagi!” ayahnya kembali
menegaskan kalimatnya. Mendengar hentakan tersebut Rita cuma bisa menangis dan
bergegas masuk kamar tidurnya.
Keesokan
harinya, sepulang sekolah Rita tak langsung pulang kerumah melainkan ke kedai
bibinya. Dengan sedih gadis itu menceritakan kejadian yang dialamianya kemarin
kepada bibinya. Dia merasa semua itu mungkin ulah dari orang-orang yang tak
senang melihat keceriaannya bersama Adit. Mendengar perihal keponakannya bibi
Ayu merasa perihatin juga, namun apa boleh dikata dia cuma bisa memberi saran dan solusi namun tak dapat
berbuat banyak karna dia sendiri tahu siapa ayah Rita. Tak lama berselang
seorang pemuda tampan datang menghampiri dengan senyum khasnya. Dialah Adit
seorang yang membuat luluh hati gadis pelayan kedai. Sesaat Adit menatap wajah
gadisnya. Melihat keadaan Rita seperti itu Adit mengerutkan alisnya sedikit
heran. Pandangan mereka berpacu, tanpa terasa butiran-butiran halus menetes di
wajah gadisnya. Seketika Adit merasa terenyuh, seakan tak sanggup melihat
tetesan bening melintasi wajah ayu gadis didepannya. Tanpa diminta
jemari-jemari tangan Adit mengusap butiran air di pipi Rita yang membuat Rita
semakin tersedu. Dengan terharu Adit menanyakan peri hal yang membuat gadisnya menangis
tersedu, “ada apa sayang...apa yang terjadi...apa yang membuatmu menjadi
seperti ini... ceritakanlah sayang...” dengan penuh perhatian Adit mencoba
menenangkan Rita. Rita pun menceritakan juga apa yang dialami hingga membuatnya
menjadi seperti ini. Dengan perasaan luluh dan iba Adit mendengarkan
ceritanya. “huh...” adit menghela nafas.
Tampak kepiluan merayapi wajahnya. Rasa iba terhadap gadisnya bercampur
kekesalan terhadap orang-orang yang mengacaukan keadaan membuat Adit semakin
jengkel. Adit mencoba meyainkan Rita, “tenanglah sayang, jangan terlalu
dipikirkan. Biar aku yang akan menjelaskan semuanya pada ayah. Aku berjanji
semuanya akan baik-baik saja!”. Belum lagi Adit menambahkan kata-katanya,
seseorang dengan tubuh tegap datang menghampiri mereka. Tak ayal lagi, hentakan
tangan menggelepar di atas meja bersamaan dengan suara sang ayah membuat beberapa pelanggan kopi
terkejut, terutama Rita yang sempat terperanjat melihat ayahnya sudah berada di
depannya. ‘’Hei kamu,,, apa tempat ini buat ajang pacaran! Kalo mau pacaran
sana ditempat laen! Cari gadis laen!’’. Kata-kata itu bagai petir membuat Adit
ternganga karna baru sadar semua itu ditujukan kepadanya. Seketika Adit
menyadari bahwa lelaki tegar di depannya adalah ayah Rita. Dengan memberanikan
diri Adit bangkit untuk sekedar berbicara namun dengan wajah penuh murka sang
ayah mengisyaratkan agar siapapun tidak ikut campur urusannya termasuk Adit. Setelah
cukup menumpahkan kemarahannya sang ayah menarik lengan anaknya untuk dibawa
pulang. Dengan terisak Rita meronta namun karna terasa percuma juga akhirnya
dia menurut saja. Sementara Adit sempat ingin menjelaskan semua tentang apa
yang sebenarnya terjadi namun sang ayah terlebih dahulu menunjuk kearahnya
sembari berkata, ‘’kamu tak tau diri, ingat kata-kataku jangan pernah muncul
lagi dihadapanku!’’. Setelah berkata begitu sang ayah pun berlalu. Adit dengan
prasaan hancur luluh cuma bisa memandangi sang kekasih yang sesekali menoleh
kearahnya. Orang-orang yang melihat kejadian itu juga terharu dan merasa iba, namun
mereka tidak dapat berbuat banyak karena mereka tau orang tua Rita adalah orang
yang berwatak keras, kalau tidak pandai mengambil posisi bisa jadi salah
sasaran.
Sejak
kejadian itu suasana di kedai Laris sedikit
berubah. Beberapa pelanggan yang biasanya tiap sore berlama-lama di tempat itu
kini hanya mampir untuk beberapa saat saja. Mereka seakan
kehilangan sesuatu yang berharga, karna biasanya pada saat seperti itu mereka
saling berbagi canda tawa serta mendapat sambutan dan sapaan manis dari gadis
ramah dan baik hati. Terlebih lagi Adit yang sejak saat itu selalu sedih dan gundah.
Dalam hati kecilnya merasa kehilangan separuh jiwanya. Cintanya yang baru
bersemi kandas begitu saja. Batinnya tak tenang, “...aku tak boleh berdiam
diri...” desis lirih terlontar dari bibirnya. Dengan terus berharap Adit selalu
menanyakan pada Ibu Ayu tentang gadisnya, namun tak pernah mendapatkan jawaban
yang yang diharapkan. Entah karna takut atau tertekan Ibu Ayu seakan
menanggapinya dengan setengah hati. Namun Adit tak putus asa, “tolonglah bu...kabari
aku keadaan Rita...dia baik-baik saja kan bu? tolong bantu aku menemuinya bu...’’.
Mendengar pertanyaan yang sudah beberapa kali didengar dari Adit membuat Ibu
Ayu sedikit bosan juga walaupun sebenarnya dia merasa perihatin melihat keadaan
Adit dan keponakannya. Dalam hatinya Ibu Ayu mengakui keduanya tidak bersalah,
hanya karna sebuah fitnah membuat mereka terpisah. Namun dalam hal ini Ibu Ayu tidak menampakkan
keperihatinannya kepada Adit karna akan membuat Adit berharap dan meminta
pertolongannya lagi. Hal itu tentu saja akan menjadi boomerang baginya karna dia
tau berurusan dengan Pak Rudi yang sekalipun saudaranya sendiri hanya akan
membuatnya berantakan. Setelah menyajikan pesanan, Ibu Ayu menghampiri Adit
yang sejak tadi gelisah menunggu kabar gadisnya. “Ibu sudah bilang...Rita
baik-baik saja...tapi cuma itu yang bisa ibu katakan. Tapi tolong jangan minta ibu untuk
mempertemukan kalian, kamu tau sendiri ayahnya seperti apa...jika dia tahu aku
ikut campur urusan ini, bisa-bisa ibu tidak dapat berjualan dikedai ini lagi. tapi
kalau kamu benar-benar ingin melihatnya sebaiknya kamu datang sendiri
kerumahnya...!”. Adit mendengarkan kata-kata Ibu Ayu. Setelah berfikir sejenak
Adit pun menganggukkan kepalanya. Ada sepercik harapan timbul dalam hatinya. “iya
bu...mungkin sebaiknya aku sendiri yang menemuinya...tapi alamatnya bu...?”. Adit
mengusap wajahnya yang tampak memikul beban yang sangat berat. Dia meresapi
kata-kata Ibu Ayu yang menurutnya ada benarnya juga. Setelah mendapatkan alamat
dari Ibu Ayu, Adit meyakinkan dirinya untuk menjumpai sang kekasih.
Dengan
peresaan senang haru bercampur cemas dan sebagainya, Adit melangkahkan kakinya
menuju sebuah alamat. Setibanya disana, pucuk dicinta ulam pun tak tiba.
Harapan bertemu sang buah hati malah bertemu rintangan. Sang ayah yang lagi
sibuk dengan peralatannya begitu melihat kehadiran Adit seketika bangkit dan
menghampiri Adit, ‘’Ada apa kamu lagi, apa kurang jelas apa yang aku katakan
kemaren?’’. kata ayah Rita dengan tegas. Adit mencoba berbicara ‘’sebelumnya
aku minta maaf pak, mungkin aku pernah salah, tapi aku rasa hubungan ku dengan
Rita biasa saja, kami tidak pernah melakukan hal-hal yang melanggar aturan,
kami,,,’’ belum sempat Adit meneruskan kata-katanya, ayah Rita menyambutnya
dengan lantang, ‘’Aaalaaaah,,, enak aja kamu bilang hubungan hubungan
hubungan,,,siapa yang ijinin kamu berhubungan? Cepat pergi dari sini dan jangan
pernah berani kembali kesini lagi, aku hajar kamu nanti!’’. Hentakan sang ayah
bersambutan dengan teriakan seorang gadis dari bilik kamar yang terkunci. Rita
yang ternyata sejak tadi ikut mendengarkan perseteruan ayahnya dengan sang
kekasih tak kuasa lagi menahan diri, ‘’Adiiiiit....!’’ teriakan Rita mengiringi
jerit tangis yang tak terbendung. Adit tak bisa berbuat apa-apa setelah diusir
begitu saja, dengan perasaan hancur kecewa dia berlalu sambil sesekali menengok
ke arah datangnya suara yang memanggil namanya. Yeah di sanalah, di balik dinding
kamar itu Rita terkulai terisak merapat di balik dinding yang kokoh.
Dear.Gadis di Balik Dinding
by.Mahkote Saksake